Berarti bapaknya enggak usah ngasih makan anaknya dong dan tidak usah menyekolahkan anaknya dong soalnya yang tanggung jawab adalah paman anak itu enak bener bapaknya cuman bikin anak sebanyak-banyaknya tanpa tanggung jawab
Kasus ini pernah terjadi tahun 50 an di jakarta
Oh iya bagaimana dengan budaya ngayau di kalimantan ?
Kalau seperti itu keyakinannya dan mereka bahagia akan hal itu..kenapa kita pusingkan toh?
bukannya apa yang kita tanam itu yang kita petik..
Baiklah saya ceritakan kasus tahun 50 an begini ceritanya (asal jangan bosen aja bacanya):
Ada orang minang nanamnya kalau tidak salah Dr Muchtar dia merantau ke Jawa (Jakarta) dengan anak Istrinya dan sukses, kemudian kemekannya di rantau menuntut harta warisnya ketika Dr Muctar meninggal, sehingga bingunglah keluarga yang ditinggalkan karena dia tidak dapat apa-apa, lalu ini sampai kepengadilan dan ramai diberitakan terutama di Sumatera Barat (waktu itu masih Propinsi Sumatera Tengah belum terpisah seperti sekarang), lalau rapatlah kaum ulama dan kaum adat serta cerdik pandai (di Minang disebut Tiga tungku sejorong), kaum ulama anatara lain Dr Karimulah (bapanya Buya Hamka) Haji Agus Salim, dan lain sebagainnya lalu di putuskan lah sebagai berikut Harta bagi menjai dua jenis Harta Pencarian dan Pusaka Tinggi (harta milik Adat)
Dimana Pusakka Tinggi adalah pusaka milik adat yang dibagi menurut adat sedangkan Harta pencarian adalah harta yang diperoleh dari hasil usaha orang tua ahli waris yang dibagi menurut hukum agama Islam atau disebut dengan Hukum Faraid (kalau tidak salah nulisnya) sehingga sang ahli waris mendapat haknya yang dilindungi oleh hukum agama islam dalam pembagian harta waris.
Begitu Bung Paldavino, pentingnya agama.
Apakah hukum yang berlaku di Indonesia ini dengan adanya MA tidak ada yang mengurusi tentang hak waris?
kenapa tidak dipercayakan dan diselesaikan menurut hukkum dan UU yang berlaku di negara tempat tinggalnya...bukankah ini salah satu pentingnya sebuah pemerintahan dan hukum di dalam suatu negara untuk menegakkan keadilan, jadi percayakan saja kepada ahlinya.
Oh iya saya lupa masalah Dr Muchtar tsb sampai Bung Hatta Ikut turun tangan (apak kamu menganggap Bung Hatta tidak Pintar ?)
Penetuan Hak waris menurut yang mana Hukum adat atau hukum apa bagaimana ? Hukum dan UU tidak ada tentang aturan waris bagi laki-llaki untuk harta waris di Minangkabau (selanjutnya baca buku karangan Buya Hamka yang berjudul Adat dan Budaya Mingakabau).
Belanda saja yang terkenal tentang hukumnya (bahkan sekarangpun kita masih menggunakan beberap aturan belanda) ketika menjajah tidak berani mngutak-ngatik hukum adat yang ada pada suatu suku bangsa.
Bagaimana bila hukum adat yang satu daerah beda dengan hukum adat lain daerah, pasti tidak ada yang mau mengalah, adil menurut hukum adat yang mana, hukum adat Minang pasti tidak dapat diterapkan di hukum adat suku bangsa yang lain begitu juga sebaliknya.
Misalnya begini lagi Ini contah tahun 2000 an pada salah satu saudara saya dia menikah dengan orang bukan minang (suku Batak Mandailing))
Orang minang laki-lakinya di lamar (untuk daerah pesisir minang bahkan dibeli), sedangkan adat batak wanitanya yang di lamar, kedua keluarga saling mempertahankan adatnya masing-masing pada kedua pasangan sudah saling menyinta. Disini tidak ada yang benar ataupun yang salah.
Akhirnya dicari jalan tengah menggunakan hukum agama islam, selesai selanjutnya mereka bisa menikah dan hidup berbahagia hingga kini.
Kembali nampak atau kelihatan pentingnya agama itu ada.
Bagaimana Sudara PaldiVano ? :