Mengapa Dalam Dunia terdapat Bermacam-Macam Agama (Dunia Imajinal Syaikh ibn Arabi)
Dunia Imajinal, Ibnu ‘Arabi dan Problem Keanekaragaman Agama-agama
IMAGINAL WORLD, Ibn al-‘Arabi and The Problems of Religious Diversity,
By William C. Chittick
State University of New York Press,
Translated by Ahmad Y. Samantho
Introduction (Pengantar)
Muhyi al-Din ibn al-‘Arabi, yang dikenal sebagai Syaikh al-Akbar atau “the Greatest Master” mungkin adalah pemikir yang paling berpengaruh pada paruh kedua sejarah Islam. Lahir di kota Murcia di Spanyol Islam pada tahun 1165 M, ia menunjukkan bakat intelektual dan spiritual pada usia yang sangat dini. Pada tahun 1200, ia mendapat ilham untuk pergi ke Timur, dan pada tahun 1202 ia menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Dari sanalah kemudian ia bepergian dari kota ke kota lain di pusat negeri-negeri Islam. Seringkali menetap di Damaskus, di mana ia wafat pada tahun 1240. Ia meninggalkan lebih dari 500 karya tulis. Karyanya Futuhat al-makkiyya atau “Pembukaan Makkah” yang akan mengisi lebih dari 15.000 halaman dalam edisi barunya, menyajikan beberapa kerlipan cahaya dan cahaya kilat ilmu pengetahuan tercerahkan yang ia dapati ketika Tuhan “telah membukakan” baginya pintu-pintu “Khazanah Kedermawanan Ghaib”. Ia merangkumkan ajarannya dalam bukunya yang paling terkenal dan sering dipelajari, Fusus al-Hikam atau “Rangkaian gelang permata kebijaksanaan” (“Bezels of Wisdom”). Ia menggabungkan hukum Islam, theology (ilmu kalam), filsafat, mysticism (tasawuf-irfan), psikologi dan ilmu pengetahuan lainnya. Beberapa murid utamanya menyebarkan ajarannya ke seantero dunia Islam, dan dalam dua abad ada beberapa ekspresi intelektualitas Islami tak tersentuh oleh kejeniusannya. Ia telah terus mengilhami banyak intelektual Muslim bahkan pada abad sekarang, dan pengaruhnya telah diserap oleh bentuk-bentuk popular dari Islam .
Pentingnya pengaruh luar biasa Ibn ‘Arabi pada pemikiran Islam terilhami oleh suatu bagian pendek dari buku (passage) yang sering dikutip di mana dia mengingat kembali pertemuannya, sebagai seorang pemuda berusia sekitar lima belas tahun, dengan filosof terkenal Ibn Rushd (Averrous), ketika Ibn Rushd sudah berusia lima puluh lima tahun. Ibn Rushd melihat kebijaksanaan (hikmah) dalam diri Ibn ‘Arabi muda, yang ia telah cari-cari sepanjang seluruh hidupnya. Dalam bahasa tersirat, anak muda itu memberitahu dia bahwa penyelidikan rasional tidaklah cukup untuk mencapai ilmu pengetahuan yang lengkap tentang Tuhan dan dunia.
Sudut pandang yang berbeda dari dua pemikir tersebut menyiratkan pembedaan tujuan antara Islam dan Barat. Karya-karya filosofis Ibn Rushd dipelajari dengan hati-hati oleh para filosof dan para theolog Barat, membantu mereka untuk memapankan alam sebagai sebuah dunia (realm) otonom dari upaya intelektual. Di bawah pembedaan mata akal, Tuhan secara gradual diabstraksikan dari realitas yang dicerap (indera dan akal), yang segera menjadi sebuah hipotesis yang dapat dibagi dengannya. Dunia alami menjadi tempat yang layak bagi analisis rasional dan pembedahan, dan hasilnya adalah fragmentasi ilmu pengetahuan umat manusia yang semakin bertambah, dengan suatu pemisahan total di antara ilmu pengetahuan (science) dan etika. Secara kontras, Ibn Rushd secara luas telah dilupakan di dunia Islam, namun perspektif Ibn al-‘Arabi telah terintegrasi ke dalam arus utama kehidupan intelektual. Hasilnya adalah sebuah harmoni antara persepsi akal (reason) dan persepsi spiritual. Para intelektual Muslim jarang dapat mengerti alam semesta tanpa melihat akar-akarnya di dalam Tuhan. Jika dunia alami berakar pada Tuhan, hal ini tak dapat dipelajari tanpa sebuah penyelidikan tentang kebutuhan moral dan etika di mana perakaran ini membutuhkannya. Hanya pada zaman sekarang, dengan dominasi politis dan kultural Barat, sudahkah para intelektual Muslim tiba-tiba dapat keluar dari pandangan dunia tradisional mereka dan melihat pada ilmu pengetahuan yang tak berakar sebagai sebuah objek pengejaran yang pantas.
Para sarjana Barat telah menawarkan penilaian yang berbeda tentang Ibn ‘Arabi. Selama paruh pertama abad ini, hampir semua orientalis mengabaikan atau melupakannya, sementara sejumlah kecil sarjana, termasuk H.S. Nyberg, Miguel Asin Palacios, dan R.A. Nicholson, memulai tugas sulit untuk mempelajari dan menganalisa karya-karyanya. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, Titus Burckhardt, Henry Corbin, dan Toshihiko Izutsu telah mengetahui kepentingan filosofis intrinsik dari kitab-kitab Ibn ‘Arabi yang luar biasa. Ketimbang membatasi kajian mereka terhadap peranannya di dalam tradisi intelektual Islam, mereka berusaha menyarankan relevansi umum karya-karya tulisnya bagi sejarah pemikiran umat manusia. Yang lebih mutakhir, perhatian kepada Ibn ‘Arabi telah semakin bertambah dan para sarjana lainnya telah membantu menyarankan banyak segi dari kepribadiannya dan ajaran-ajarannya. Khususnya, pantas disebutkan di antaranya, Quest for the Red Sulphur, dan dua kajian mendalam oleh MichelChodkiewiez – The Seals of the Saints dan An Ocean Without Shore.
Para orientalis awal cenderung untuk mengabaikan Ibn ‘Arabi dengan sejumlah alasan. Salah satu yang paling penting darinya adalah bahwa karya-karyanya terlalu banyak volumenya dan sulit untuk mendorong siapa pun untuk rela menghabiskan bertahun-tahun untuk mengkaji karya-karyanya. Yang kedua adalah hampir semua orientalis sangat percaya diri bahwa metode ilmiah modern telah memberi mereka pemahaman yang superior tentang segala sesuatu, sehingga mereka merasa bebas untuk mengabaikannya sebagai sesuatu yang tak terorganisir, inkoheren, atau takhayul terhadap apa pun yang tidak memenuhi khayalan mereka –dan Ibn ‘Arabi jarang melakukan hal seperti ini. Yang lebih mutakhir, persangkaan modern tentang karakter alami manusia telah dipertanyakan. Pengerakan para intelektual dan sosial yang bermacam-macam yang menggumpal bersama sebagai post-modernism, untuk semua kelebihan mereka, memberi kesaksian untuk mengerogoti rasionalitas Barat. Pemutusan kepastian-kepastian kontemporer punya satu kesuksesan besar untuk melakukan dengan hasrat para sarjana untuk melihat kepada para pemikir non-Barat dalam suatu pencarian spirit konstan umat manusia. Di dalam peradaban Islam, Ibn ‘Arabi berdiri sebagai monument agung bagi kemungkinan pemeliharaan rasionalitas sembari secara simultan mentransendensikannya, dan ia mau tak mau bertindak sebagai rambu suar bagi mereka yang mencari sebuah jalan keluar dari jalan buntu pemikiran modern dan postmodern.