Kawin Beda Agama dari Aspek HAM
Penitikberatan terhadap larangan kawin beda agama oleh UU dan hukum agama ternyata ditentang keras oleh para pejuang HAM. Adanya penolakan terhadap perkawinan beda agama di Indonesia pada dasarnya merupakan tindakan yang diskriminatif yang tidak sesuai prinsip-prinsip HAM itu sendiri. Padahal, masalah agama merupakan salah satu komponen HAM yang dijamin oleh UUD sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 dengan tegas menjamin adanya kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap orang. Kebebasan beragama ini pada dasarnya juga berarti negara tidak turut campur dalam masalah-masalah agama, tak terkecuali dalam masalah perkawinan. Karena dalam UU HAM Pasal 10 ayat 2 menyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan atas kehendak bebas dari kedua pihak. Jadi, prinsip perkawinan hanya bisa dilakukan jika tidak ada paksaan dari kedua belah pihak. Dan larangan yang menyatakan keharaman tentang perkawinan ini sangatlah bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.
Solusinya
Perkawinan yang tidak disahkan baik itu menurut agama maupun Negara, menimbulkan masalah serius tersendiri dalam pemecahannya. Jika seseorang masih memegang prinsip bahwa perkawinan ini baginya harus dilakukan, menurut Prof. Wahyono Darmabrata ada empat cara yang bisa dilakukan yaitu meminta penetapan pengadilan, perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, penundukan sementara pada salah satu hukum agama dan menikah di luar negeri.
Namun, larangan terhadap pernikahan ini pada dasarnya adalah bertujuan untuk menjauhkan dari fitnah dan madharat di kemudian hari. Karena masalah-masalah baru akan muncul setelah terjadinya pernikahan. Misalnya, perkembangan anak tentunya akan mempengaruhi masa depannya. Karena prinsip yang dimiliki oleh ortunya pun sudah tidak harmonis. Maka. Pernikahan yang sah baik oleh agama maupun Undang-undang adalah lebih baik dan tentu lebih nyaman bagi kedua belah pihak.
KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa aturan hukum negara Indonesia mengenai perkawinan, dapat di laksanakan dan sah menurut hukum apabila sesuai dengan hukum agama masing-masing. Mengenai sah dan tidaknya perkawinan beda agama diserahkan pada hukum agama masing-masing. Namun dalam Undang-undang sendiri sangat memberatkan pernikahan ini, pasalnya, hampir semua agama di Indonesia menolaknya. Maka untuk menjaga kemaslahatan, pernikahan yang wajar dalam artian seagama adalah lebih baik.
PENUTUP
Demikian pemaparan makalah yang dapat kami sampaikan. Kami yakin dalam penulisan materi makalah ini masih banyak kesalahan-kesalahan. Maka kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah kami yang selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat pada kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arloka
H Sudarsono SH MS, Konsultasi : Rumitnya Kawin Beda Agama, 02 September 2007, http://www.surya.co.id/web Powered by Joomla!
Dr. Abdul Majid, Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Islam, 09-04-05, http://asnawiihsan.blogspot.com
Fatwa Mui Kawin Beda Agama, 8 Agustus 2005, http://walujadjati.tblog.com/post/1969743013
Perkawinan Beda Agama dari Aspek HAM, 30 Mei 2007, http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/18
Undang-undang perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arloka, hlm 6
H Sudarsono SH MS, Konsultasi : Rumitnya Kawin Beda Agama, 02 September 2007, http://www.surya.co.id/web Powered by Joomla!
Undang-undang perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arloka, hlm 180
Dr. Abdul Majid, Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Islam, 09-04-05, http://asnawiihsan.blogspot.com
Fatwa Mui Kawin Beda Agama, 8 Agustus 2005, http://walujadjati.tblog.com/post/1969743013
Dr. Abdul Majid, op.cit.,
Perkawinan Beda Agama dari Aspek HAM, 30 Mei 2007, http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/18