alhamdulillah atas kekuasaan Allah swt. jua setelah mencari referensi sana-sini mengenai tafsir al-azhar karya buya hamka dalam surah albaqarah 62 yang dimodifikasi oleh ahmad syafii maarif bisa terkuak juga segala kebohongan2 yang ada untuk memuaskan nafsu penulis belaka dlm menciptakan pluralisme beragama.
assalaamu’alaikum wr. wb.
Pada tanggal 21 Nopember 2006, Ahmad Syafii Maarif menulis sebuah artikel berjudul Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah di kolom Resonansi surat kabar Republika. Inti ceritanya, Syafii Maarif dimintai penjelasan tentang tafsir ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah oleh seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso. Menurut sang jenderal, tafsir ayat tersebut penting untuk digunakan ketika menghadapi beberapa tersangka kerusuhan di Poso. Secara implisit, permintaan ini menunjukkan seolah-olah umat Islamlah pihak yang paling bersalah dalam konflik di Poso.
Beginilah kira-kira bunyi terjemahan ayat yang dimaksud:
"Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Q.S. Al-Baqarah : 62)
Dalam artikel tersebut, Syafii Maarif mengutip kata-kata Hamka dalam Tafsir Al Azhar sebagai berikut:
Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapatkan ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu. ‘Dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita’ (ujung ayat 62). (hal. 211)
Syafii Maarif ‘melengkapi’ kutipan di atas dengan paragraf berikut ini:
Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan oleh ayat 85 Surah Ali Imran itu,
yang akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam, walaupun tidak pernah
mengamalkannya. Dan syurga itu hanya dijamin untuk kita saja. Tetapi kalau kita fahamkan bahwa di antara kedua ayat ini adalah lengkap melengkapi maka pintu da’wah senantiasa terbuka, dan kedudukan Islam tetap menjadi agama fithrah, tetapi dalam kemurniannya, sesuai dengan jiwa asli manusia. (hal. 217)
Dan untuk lebih menguatkan opini yang hendak dibentuk, dikutiplah paragraf di bawah ini:
Dan neraka bukanlah lobang-lobang api yang disediakan di dunia ini bagi siapa yang tidak mau masuk Islam, sebagaimana yang disediakan oleh Dzi Nuwas Raja Yahudi di Yaman Selatan, yang memaksa penduduk Najran memeluk agama Yahudi, padahal mereka telah memegang agama Tauhid. Neraka adalah ancaman di Hari Akhirat esok, karena menolak kebenaran. (hal. 218)
Dari kutipan-kutipan di atas, terlihat jelas beberapa poin opini yang hendak dibentuk, antara lain:
1. Hamka berpendapat bahwa manusia yang beriman, apa pun agamanya, akan mendapatkan pahala jika berbuat baik. Opini ini sangat rentan untuk ‘dipelintir’ oleh orang-orang pluralis yang berpendapat bahwa surga bisa didiami oleh manusia yang beragama apa pun.
2. Islam bisa dikenal dengan ‘nama lain’, sebagaimana pendapat Nurcholis Madjid yang mengatakan bahwa nama “Islam” dalam Al-Qur’an adalah pengertian generiknya. Dengan demikian, umat beragama apa pun bisa dikategorikan Muslim jika ‘berserah diri pada Tuhan’.
3. Manusia tak berhak menciptakan ‘neraka’ di muka bumi. Pernyataan ini seolah menggiring pikiran pembaca untuk percaya bahwa konflik Poso berasal dari umat Islam yang berusaha menciptakan ‘neraka’ bagi umat lain. Klaim ini sangat mudah untuk dimanfaatkan oleh kaum sekularis-pluralis-liberalis yang selalu menolak ‘klaim sesat’ dan semacamnya.
Hemat saya pribadi, kutipan-kutipan Syafii Maarif dalam artikelnya itu tergolong tidak bertanggung jawab. Kesalahan utamanya adalah karena kutipan-kutipan yang dicantumkan di dalam artikelnya tersebut menggiring pembaca pada opini yang salah. Seolah-olah Buya Hamka sependapat dengan kaum pluralis yang mengatakan bahwa semua agama itu sama, dan bahwa umat beragama yang lain pun bisa mendapat ridha Allah SWT tanpa harus memeluk agama Islam. Padahal, tepat sebelum paragraf yang bercerita tentang neraka di atas, Hamka menuliskan :
Dan kedatangan Islam bukanlah sebagai musuh dari Yahudi dan tidak dari Nasrani, melainkan melanjutkan ajaran yang belum selesai. Maka orang yang mengaku beriman kepada Allah, pasti tidak menolak kedatangan Nabi dan Rasul penutup itu dan tidak pula menolak Wahyu yang dia bawa. Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak. (hal. 217)
Saya menyebutnya sebagai ‘paragraf kunci’, karena ia bisa menyelesaikan persoalan yang sedang dibahas ini dan mengisi ‘lubang-lubang’ yang lalai diisi oleh Syafii Maarif dalam artikelnya. Jika artikel ini dicantumkan, jelaslah bahwa Buya Hamka menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama, namun menolak sepenuhnya ajaran pluralisme. Bagi beliau, Islam dan Non-Islam sangat berbeda. Bahkan dalam penjelasannya di atas, jelas bahwa beliau berpendapat bahwa siapa pun yang pernah mendengar dakwah Rasulullah saw. namun tak beriman padanya maka nerakalah tempat mereka kelak. Tentu saja, seperti penjelasan Buya Hamka sendiri, neraka itu bukanlah tempat yang diciptakan oleh manusia di dunia, melainkan di akhirat kelak. Tidak ada tuntunan dalam Islam untuk bersikap kasar pada umat lainnya, namun tidak ada alasan pula untuk bersikap mencla-mencle dan pura-pura tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.