Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa ketika seseorang meninggal dunia, jiwanya terpisah dari raganya. Ia kemudian berada di hadapan pengadilan Tuhan. Patut diingat bahwa jiwa adalah “siapa” kita sebenarnya: sementara tubuh kita mati, jiwa kita - diri kita yang sebenarnya - tetap hidup dan kembali kepada Tuhan untuk menghadapi pengadilan. Katekismus Gereja Katolik dengan jelas mengajarkan, “Pada saat kematian setiap manusia menerima ganjaran abadi dalam jiwanya yang tidak dapat mati. Ini berlangsung dalam satu pengadilan khusus, yang menghubungkan kehidupannya dengan Kristus: entah masuk ke dalam kebahagiaan surgawi melalui suatu penyucian, atau langsung masuk ke dalam kebahagiaan surgawi ataupun mengutuki diri untuk selama-lamanya.”
Saat kita meninggal dunia, jiwa kita segera menghadap pengadilan. Kita harus mempertanggung-jawabkan hidup kita, atas segala hal baik yang kita lakukan dan segala dosa yang kita perbuat. Kita menyebutnya Pengadilan Khusus sebab pengadilan ini khusus bagi tiap-tiap orang. Jika kita bebas dari segala bentuk dosa dan luka akibat dosa, kita akan segera disambut dalam surga, di mana kita akan menikmati kebahagiaan surgawi, memandang Tuhan dari muka ke muka. Jika kita meninggal dunia dengan menanggung dosa-dosa ringan atau luka akibat dosa, Tuhan dalam kasih dan kerahiman-Nya akan terlebih dahulu memurnikan serta memulihkan jiwa dalam api penyucian; setelah pemurnian dan pemulihan, barulah jiwa kita disambut dalam surga. Tetapi, jika kita meninggal dalam keadaan menolak Tuhan, dengan menanggung dosa-dosa berat dan tanpa sesal atas dosa-dosa berat tersebut, maka kita akan melemparkan diri kita sendiri ke dalam neraka; ketegaran hati kita dalam menolak Tuhan yang kita lakukan semasa di dunia ini, akan terus berlanjut di kehidupan yang akan datang. Ajaran ini dipertegas dengan pernyataan Kristus kepada St Dismas, penyamun yang bertobat, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (Luk 23) (Catatan bahwa ajaran mengenai pengadilan khusus ini dijabarkan dalam Konsili Lyon II pada tahun 1274).
Pada akhir jaman, Kristus akan datang kembali untuk mengadili orang yang hidup dan yang mati. Dalam Injil St Yohanes, Kristus mengajarkan, “Dan Ia telah memberikan kuasa kepada-Nya untuk menghakimi, karena Ia adalah Anak Manusia. Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.” (Yoh 5-29). Dan lagi Katekismus mengajarkan, “Di depan Kristus, yang adalah kebenaran, akan nyata secara definitif hubungan setiap manusia dengan Allah yang sebenarnya. Pengadilan terakhir akan membuka sampai ke akibat-akibat yang paling jauh, kebaikan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh setiap orang selama hidupnya di dunia ini.” (No. 1039). Dalam pengadilan terakhir, individu bukannya berdiri sendiri, melainkan ia juga diadili sebagai anggota masyarakat dan di hadapan segenap komunitas umat manusia. Mereka yang telah meninggal dunia dan diadili tetap tinggal di surga atau di neraka; mereka yang belum meninggal dunia sekarang akan diadili dan masuk surga atau neraka. Karena sejak pengadilan terakhir hanya surga dan neraka saja yang ada, St Agustinus dan yang lainnya beranggapan bahwa segala penyucian jiwa - bagi mereka yang telah berada di api penyucian dan sekarang mereka menunggu pengadilan dalam pengadilan terakhir ini - akan berakhir.