Bissmilah........
Melihat maraknya debat dan perseteruan sengit antar agama, maupun antar
kelompok manusia mengatasnamakan "Tuhan" melalui agama, sungguh amat
menyedihkan. Mereka tega saling membunuh dan menyakiti hanya lantaran
"membela kebenaran" yg katanya difirmankan oleh "Tuhan", entah melalui kitab
suci, rasul, atau nabi mereka masing-masing. Sebenarnya, kalau mau ditelaah
dengan jujur, konsep "kebenaran" atau bahkan konsep "Tuhan" dalam
agama-agama sangat tidak obyektif, sehingga ada "benar" versi A, ada "Tuhan"
versi B, dll.
Konsep "Tuhan" kemudian direduksi menjadi konsep "kebenaran". Agama hanyalah
kumpulan konsep-konsep tsb. Oleh karena sudah diturunkan turun temurun,
jarang ada orang mempermasalahkan hakiki dari konsep-konsep itu. Pihak ulama
dengan seenaknya, sesuai dengan kepentingan mereka, melarang dan mengutuk
usaha mempertanyakan "kebenaran" sejati dari apa-apa yg selama ini dianggap
"suci" sehingga tabu dipertanyakan.
Menurut agama-agama, "Tuhan" sebagai sumber dari "kebenaran" adalah maha
segalanya. Suatu konsep yg bagus seharusnya, tapi sayang, "Tuhan"
dipersonifikasikan sebagai Yang Maha Positif saja: Maha Tahu, Maha Pengasih,
Maha Penyayang, Maha Pengampun, dll. Walaupun tidak jarang, dalam kitab suci
mereka, "Tuhan" bisa marah besar, menghukum, dan menciptakan neraka utk
penyiksaan yg amat jauh dari rasa kasih sayang. Konsep ini penuh
kontradiksi, yg cenderung mendorong pengingkaran terhadap kenyataan. Padahal
kenyataan adalah satu-satunya kebenaran sejati. Bagi siapa saja, di mana
saja, kapan saja, kenyataan selalu menang, tak bisa diganggu gugat, termasuk
oleh "Tuhan" agama-agama itu.
Kalau doa tak dikabulkan dikatakan sedang diuji. Kalau diterpa bencana alam
dikatakan manusia sedang dalam ujian. Dalam pertikaian masing-masing pihak
"membela Tuhan"-nya sekaligus minta "bantuan Tuhan". Taliban yg yakin bahwa
mereka "membela" dan "dibantu Tuhan" toh harus menghadapi kenyataan pahit.
Bangsa Indonesia yg agamis, sehingga yakin akan "Tuhan" Yang Maha Pemurah,
dengan doa-doa bertebaran, toh semakin banyak saja hutangnya menuju
kebangkrutan. Alasan yg diberikan ulama adalah "Tuhan" hanya merestui orang
yg berusaha, orang yg ikhlas, dll, nah, "Tuhan" ini kemudian diturunkan
tingkat ke-"maha"-annya semau orang yg mengintepretasikannya.
Ujian yg tak ada habisnya, kenyataan pahit yang tak mungkin dihindari,
"Tuhan" yg bisa bertingkah pilih-pilih, "Tuhan" yg terus membisu walau
"pembelanya" sudah berusaha mati-matian, ini bertentangan dengan konsep
"Tuhan" dalam agama-agama, yg kemudian harus"diselamatkan" oleh kaum ulama
dengan alasan-alasan yg tidak logis. Konsep "setan" adalah salah satu usaha
penyelamatan kaum ulama terhadap konsep "Tuhan" mereka. Sebenarnya konsep
ini tidak menyelamatkan muka "Tuhan", tapi justru mengecilkan keMaha-an
"Tuhan" yg karena itu memiliki kompetitor dalam usaha mengambil hati manusia
menjadi pengikutnya.
Tuhan sejati yg berkaitan langsung dengan kenyataan memang memiliki semua
karakteristik Maha, seperti kosmos yg menunjukkan kebesarannya terhadap
semua makhluk hidup. Kosmos memberi makan, memberi kenikmatan, keberhasilan,
tapi juga kematian, kesengsaraan, kegagalan, bahkan kehancuran. Itulah wajah
hakiki dari Tuhan yg Maha-Maha itu. Apanya yg mau dibela, apanya yg mau
dipertentangkan. Semuanya sudah jelas dipertontonkan alam dalam kehidupan
ini.
Orang mengenal Tuhan, kebenaran sejati, tidak perlu melalui ilusi yg
diajarkan agama-agama, melalui "Tuhan" Maha Positif mereka. Contohnya, para
ilmuwan sudah terbiasa mengenal Tuhan sejati melalui keilmuannya. Para
astronom, fisikawan, kimiawan, ahli biologi, melalui kenyataan agung yg
mereka pelajari, mulai dari sel-sel hidup, kode genetik, partikel subatomik,
sampai kedahsyatan alam semesta, menyatakan takluk terhadap kebenaran
sejati.
Kenetralan alam semesta adalah kebenaran sejati. Kasih dan benci juga bagian
dari kebenaran sejati. Adalah suatu keunikan bagi umat manusia bahwa ia
mempunyai alam pikir untuk memilih. Kesempatan memilih adalah kebenaran
sejati bagi manusia. Memilih jalur kasih atau jalur kebencian jelas memiliki
konsekuensi sendiri-sendiri, dimana "Tuhan" Maha Positif tidak akan ikut
campur.
Boleh dikata seluruh umat manusia ingin hidup bahagia, nah ini perlu usaha.
Adalah kenyataan sejati bila manusia lebih dekat ke kesengsaraan daripada
kebahagiaan. Jangan harap menuai panen tanpa bersusah menanam. Jangan harap
kaya tanpa tekun berusaha. Jangan harap jadi pandai tanpa belajar. Adalah
kenyataan pula bahwa manusia seketika (tanpa usaha) bisa menjadi melarat,
tertimpa bencana, sakit dan mati. Pendek kata, kesengsaraan adalah proses
spontan, tapi kebahagian perlu dibangun dengan keringat.
Utk bahagia perlu kedamaian, artinya hidup bahagia BERSAMA dengan orang
lain. Kedamaian juga harus dibangun dengan kerja riel, tidak seperti
lawannya, yaitu permusuhan, yg bisa dibuat dalam sekejap. Utk memperoleh
teman sejati tidak semudah mendapatkan musuh. Kata kunci perdamaian adalah
KASIH. Tanpa kasih hidup tidak akan damai. Jadi semuanya konsekuensi logis
dari keinginanan manusia utk hidup sejahtera. Tapi manusia bebas memilih,
Tuhan sejati tidak akan pernah melarang, mau hidup dalam kebencian ya
silakan, asal mau menerima konsekuensi tidak adanya kedamaian, dus tidak ada
kebahagiaan sejati.
Konsep "Tuhan" Maha Positif bisa membantu umat mencapai kasih, asal bisa
menghindari risiko bias menuju pengingkaran terhadap kenyataan sejati.
Banyak orang yg berhasil, tapi juga tidak sedikit orang yg gagal. Dunia
moderen yg serba mungkin sungguh menambah kompleksitas usaha peningkatan
kualitas batin ini. Ilusi-ilusi seringkali menjerumuskan mereka yg salah
memilih, dan "Tuhan" Maha Positif tidak bisa lagi diharapkan bantuannya.
Semuanya mengalir seperti air sungai menuju laut, alamiah. Mau melawannya?
Mustahil, karena kenyataan selalu menang. Mau berdoa kepada "Tuhan" Maha
Positif agar datang menolong? Maaf, "Tuhan-Tuhan" itu telah lama wafat.