idolaku....Cak Kartolo.

Cinta Mati pada Ludruk
Kartolo dan Perjalanan di Dunia Seni
Nama Kartolo atau lebih akrab dipanggil Cak Kartolo sudah tidak asing di dunia seni. Dia sering mendapatkan penghargaan atas dedikasinya melestarikan seni ludruk. Sebagai seorang pribadi, Kartolo adalah sosok yang sederhana dan rendah hati.
---
Ditemui di kediamannya, kawasan Kupang, kemarin (26/8), Kartolo terlihat segar. Saat ditanya berapa umurnya, dia bingung menjawab. ''Kalau di KTP tertulis tahun lahir saya 1947,'' katanya. Tetapi, dia sebenarnya lahir pada 1945. ''Maklum, dulu tidak ada aktanya,'' ucap pria berkumis tersebut.
Kartolo lahir di Pasuruan. Saat berumur tiga tahun, dia pindah ke Surabaya karena ayahnya, (alm) Aliman, bekerja di pabrik tenun daerah Juwingan. Tiga tahun kemudian, saat sang ayah meninggal, dia dan ibunya kembali ke kota kelahiran.
Di Pasuruan itulah, Kartolo mulai mengenal seni. Tepatnya ketika duduk di kelas enam sekolah rakyat. Di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, banyak pemain karawitan. Dia pun mulai belajar memainkan alat-alat musik karawitan. "Alat musik yang pertama kali saya pelajari itu gambang," ujarnya.
Dari belajar karawitan, Kartolo mulai mengiringi ludruk dan tayuban. Sebenarnya, darah seni sama sekali tidak mengalir di dalam darahnya. ''Ayah saya kerja di pabrik tenun, ibu saya petani,'' terang dia.
Bermula dari karawitan, Kartolo lantas mulai belajar menguasai kesenian yang lain. Termasuk ludruk. Pada 1960, untuk kali pertama dia manggung bersama kelompoknya. Respons yang didapat memuaskan. Namun, lima tahun kemudian, saat meletus G-30-S/PKI, Kartolo berhenti. "Dulu kan sempat dilarang," tuturnya.
Pada 1967, Kartolo kembali aktif ngludruk dengan bergabung bersama kelompok Sipur Lima Ludruk Dwikora. Pada 1969, dia pindah ke Ludruk Gajah Mada. Begitu seterusnya. Dengan pertimbangan ekonomi, dia berpindah-pindah, mencari grup yang punya jam manggung tinggi.
Hingga pada 1971, Kartolo bergabung dengan Ludruk RRI. Dia berada di sana hanya tiga tahun. Ketika memutuskan untuk menikah dengan temannya, Kastini, pada 1974, Kartolo memilih keluar dari grup tersebut dan menjadi seniman "freelance".
Perkenalan Kartolo dengan Kastini sendiri terjadi sekitar 1972. Mereka merupakan sesama pemain ludruk. Sering dipasangkan sebagai suami istri, lama-lama tumbuh benih cinta sebenarnya. Setelah pacaran setahun, mereka memutuskan untuk menikah.
Pada 1976-1980, Kartolo kembali bergabung dengan sebuah grup ludruk bernama Persada Malang. Guyonannya yang khas membuat namanya kian melejit. Sampai akhirnya dia mendapatkan tawaran rekaman kaset. Mulailah Kartolo membuat kaset-kaset ludruk. Merasa masih memiliki potensi, Kartolo lantas melebarkan jalur seni menjadi pelawak.
Total, hingga pada 1995, Kartolo sudah memiliki 95 kaset rekaman ludruk. Meski demikian, jangan bayangkan dia sekarang hanya berleha-leha menikmati royalti dari hasil karyanya yang masih sering diperdengarkan di radio-radio itu. "Dulu kalau habis rekaman dapat uang langsung. Nggak ada royalti," jelas anak kedua dari empat bersaudara tersebut.
Kartolo sendiri tidak menyangka dirinya bisa eksis di dunia seni hingga saat ini. Sampai sekarang dia masih menerima tawaran manggung. Meski tak seramai dulu, dalam sebulan pasti ada saja orang yang mengundang. Kartolo pun merasa tak perlu mencari pekerjaan lain.
Hidupnya yang lumayan berkecukupan saat ini benar-benar ditopang dari profesi sebagai seniman. "Saya sudah terlalu cinta sama ludruk. Nggak pengen dagang atau melakukan hal lain," tegasnya.
Saat ini, kalau sedang tidak ada jadwal manggung, Kartolo lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain bersama cucu, menonton televisi, atau berolahraga badminton. "Saatnya menikmati hidup," tuturnya lantas tersenyum. (jan/ayi)
Ingin Bikin Kidungan Bahasa Inggris
Puluhan tahun bergulat di dunia seni, Kartolo menyimpan banyak cerita menarik. Salah satu yang paling diingat adalah pengalaman pertama naik pesawat terbang untuk urusan manggung.
Saat itu, dia harus terbang ke Jakarta sendirian. Bingung tak tahu harus melakukan apa, Kartolo memilih memperhatikan gerak orang yang duduk di sampingnya. Apa yang dikerjakan selalu diikutinya. "Lucu kalau mengingatnya. Saya seperti bayangan cermin orang itu," kisahnya.
Hal lain yang masih dialaminya hingga kini adalah rasa grogi saat akan manggung. Dia mengaku, terkadang masih susah menyesuaikan diri. Namanya yang sudah terkenal tidak lantas membuat dirinya bisa tampil semaunya. Justru Kartolo menyatakan harus menjaga kualitas aksinya.
Untuk mengurangi nervous, Kartolo berusaha betul mempelajari medan panggung. Membekali diri dengan terus meng-upgrade pengetahuan diyakini juga mampu meningkatkan rasa pede. Untuk itu, setiap hari Kartolo menambah referensi dari koran, radio, dan televisi. "Biar bisa masuk ke semua kalangan. Biar nggak terlalu grogi saat tampil," ujarnya.
Setiap hari Kartolo rajin menulis berbagai peristiwa penting dan menarik yang terjadi. Bukan hanya di Indonesia, tapi di dunia. Mulai bencana alam, pemilu, sampai olahraga. ''Apalagi sepak bola. Sebab, itu olahraga favorit saya,'' ungkapnya.
Catatan-catatan tersebut membantunya menambah pengetahuan sekaligus menjadi materi untuk manggung. Selain itu, Kartolo senang menulis kidungan (syair). Itu sudah dilakukan saat dia mulai manggung dulu. Jika dikumpulkan, mungkin ada ribuan syair. Tetapi, dia mulai rajin menatanya dua tahun belakangan. ''Yang dulu sudah nggak tahu ke mana,'' katanya.
Koleksinya dua tahun terakhir ditulis dengan rapi di sebuah buku ukuran folio. Tercatat 411 syair dengan berbagai tema. Mulai pendidikan, agama, hingga tema cinta. Tiap syair diberi nomor urut. Kemudian, dia memiliki satu buku lagi khusus untuk menulis judul dan nomor urut syair tersebut. ''Jadi, kalau mau nyari gampang,'' jelasnya.
Syair tersebut ditulis dalam bahasa Jawa dan Indonesia. Kalau penontonnya banyak orang lokal, dia menggunakan syair berbahasa Jawa. Tapi, kalau yang datang orang-orang penting, syair bahasa Indonesia jadi andalan. ''Kalau pakai bahasa Jawa, nanti lucunya nggak ketahuan,'' ungkapnya.
Sebenarnya, dia berkeinginan menulis syair bahasa Inggris. ''Tapi, sepertinya butuh bantuan orang lain untuk membuatnya,'' imbuhnya.
Selain catatan tentang peristiwa dan syair, dia memiliki catatan tentang pementasannya. Semua ditulis dengan detail. Mulai tempat, waktu, hingga kostum yang dipakai. ''Biar tetap ingat. Momen seperti itu kan tidak terulang,'' tuturnya.
Misalnya, ketika Januari lalu dia menerima Surabaya Award. Kartolo sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan penghargaan tersebut. ''Panitia cuma menghubungi saya dan meminta saya manggung,'' tambahnya.
Saat sedang mempersiapkan penampilan di belakang panggung. Tiba-tiba namanya dipanggil sebagai penerima penghargaan tersebut. ''Saya mbrebes mili,'' katanya. Dia bahkan bingung ketika diminta pidato. ''Ya, seadanya, wong tidak saya persiapkan,'' kenangnya. (jan/ayi)