sik asiikk... lanjut deh diskusinya..
sekali lagi anda menguatkan bahwa dalam shalat itu wajib menggunakan bahasa arab karena tidak ada ucapan/bacaan dalam shalat itu yang tidak ada dalam Al-Qur'an atau hadits. Sepertinya anda sudah satu pikiran dengan saya
Yup setuju, Ijtihad memang diperlukan tapi yang termasuk dalam ibadah khusus tidak diperlukan ijtihad karena itu sudah baku dicontohkan Rasulullah. Imam Ghazali mengatakan: “Obyek ijtihad adalah semua hukum syar’i yang tidak terdapat dalil qath’i, ijtihad seperti inilah yang membebaskan pelakunya dari dosa apabila terjadi kesalahan dalam ijtihadnya. Adapun kewajiban shalat lima waktu, zakat, serta hal-hal yang jelas-jelas disepakati oleh umat yang terdapat di dalamnya dalil qath’i berdosalah mereka yang menyelisihi, hal itu bukanlah obyek ijtihad” (Al Mustashfa, vol. 2, hal. 354). Kecuali anda memang dari kelompok JIL, mau bicara apalagi karena Al-Qur'an saja mau di update/revisi oleh JIL.
Yup.. untuk ibadah yang sifatnya "ritual" saya juga sepakat penggunaan bahasa Aslinya (Arab) sesuai tuntunan dari Nabi SAW, untuk tetap menjaga makna dan hakikat ibadah itu sendiri dan menghindari berkembangnya penafsiran yang justru akan menjauhkan esensi ibadah tersebut. saya sangat setuju. dan saya rasa pembahasan saya sebelumnya sudah menyepakati hal itu. so, kagak ada yang perlu saya diskusikan lagi untuk itu. :)
(saya shalat masih pakai bahasa arab kok ndan )
tentang ijtihad; apakah dengan ini apa yang telah dirumuskan oleh para imam Madzab dan ulama' fiqh setelahnya sudah final? apakah rumusan yang telah Beliau2 buat telah menyentuh semua sendi kehidupan kita sekarang? semisal untuk masalah: kebijakan fiskal dan moneter, ekspor-impor, etika dan ketentuan bergaul dalam masyarakat multikultur dan multirelijius (Indonesia mungkin contoh yang paling relevan), pemanfaatan sarana informasi teknologi dalam ibadah (pembacaan ayat2 Al Quran dari kaset dll.. ato misal terjadi Adzan yang direkam dstnya), menangkal kejahatan berbasis cyber crime, bom bunuh diri ala teroris yang diyakini sebagai jihad fi sabilillah, isu HAM dan gender, traficking, kapitalisasi ekonomi, bentuk ketaatan terhadap ulil amri dalam konteks sistem pemerintahan modern yang sekuler, dan lain sebagainya. Saya rasa para Imam Madzab terdahulu tidak melakukan
pembahasan sampai njlimet tentang beberapa masalah tersebut diatas dan berbagai masalah yang bakalan muncul kemudian.
Semuanya menjadi tidak banyak disentuh dan dibahas dikarenakan memerlukan energi dan keberanian yang luar biasa untuk tidak sekedar merangkai nash dan nash yang tersedia dari AL Quran dan Al Hadist dengan tanpa mempergunakan berbagai disiplin keilmuan yang lain kedalamnya, baik ilmu sosial, sejarah, eksakta ataupun humanities yang selama ini dianggap berada di luar wilayah ulum al-din (ilmu agama) dan bersifat mubah hukumnya untuk mengetahui atau sekedar mempelajarinya.
terkait JIL; ane bukan bagian dari mereka. namun keberanian untuk melakukan penafsiran ulang atas nash atau dalil klasik dan melihat kontekstual permasalahan diatas, ane kasih apresiasi positif atas usaha mereka, biarpun cap kafir atau murtad atau sesat melekat di mereka, ghirah untuk ijtihad mereka kagak surut. seperti kita tau, bahwa terjadi stagnansi ilmu fiqh setelah para Imam Madzab tiada, sehingga kemajuan ilmu setelah beliau2 hanyalah sekedar hasyiah (komentar2) dan syarah (penjelasan) atas pendapat para Imam Madzab terdahulu.
Stagnasi keilmuan ini sebagai ongkos sangat mahal yang harus dibayar oleh umat Islam sebagai akibat dari ketidakberanian mereka mengambil resiko salah dalam melakukan penelitian (istiqrā’) yang kemudian dirumuskan dan dirasionalisasikan dengan argumen sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para imam mazhab. Periode taklid dan fanatisme terhadap mazhab semakin massif di masyarakat Islam dengan diproklamirkan seruan pintu ijtihad sudah tertutup, dan penafsiran lain selain yang sudah ditetapkan adalah sesat :)
tp semua kembali pada penilaian tiap individu terhadap JIL :)