ini ada sedikit ilustrasi buat bro sekalian :
Harga satu snipper riffle lebih kurang Rp.70 juta. (without Ammo) . Kalau kita ingin mendidik sepuluh penembak jitu , dana untuk membeli senjata = 700 juta.
Idealnya, dalam setiap kompi atau batalion infanteri ada beberapa penembak runduk dan pendamping (Spotter). Nah, kalau misalnya kostrad dengan kekuatan lebih kurang 34 batalion dengan asumsi satu orang snipper dan satu orang spotter , maka dana yang harus disiapkan untuk senjata adalah sebesar :
2 x 34 x 70 juta = 4,76 Miliar. Ini belum termasuk amunisi, aksesoris pelengkap seperti teleskop , pakaian kamuflase, kesejahteraan dan pendidikan personel serta aksesoris lainnya.
Sementara kalau kita membeli alutsista (alat utama sistem persenjataan) seperti pesawat tempur , transport , heli, kapal perang / selam , maka dana yang dikeluarkan jauh lebih besar lagi. Mulai dari pembelian perangkat, sistem persenjataan , suku cadang, sistem radar,dan tentu juga munisi dan persenjataan. Well , ternyata anggaran pertahanan itu tidak sedikit .
Diatas semua itu, biaya operasional persenjataan tidak murah. Setiap kita menerbangkan pesawat, atau operasi kapas selam/laut, bahan bakarnya saja sudah tinggi. Itulah sebabnya TNI tidak bisa lantas melakukan latihan seenaknya.
Idealnya, semua kebutuhan persenjataan kita produksi sendiri, sehingga bila diberi embargo angkatan bersenjata kita tidak terpukul dan dari segi biaya akan jauh lebih murah. Akan tetapi, selagi belum mampu , maka blok timur yang memiliki banyak stok persenjataan sisa perang dingin dapat dilirik sebagai alternatif yg menarik .Apalagi sistem pembayaran berupa soft loan dan imbal dagang dirasa tidak terlalu membebani perekonomian negara.
Tapi kalo dipasar gelap beceng katanya cuma 300 ribu ajah ? heheh