@brainwashed
Allah adalah cahaya langit dan bumi ; perumpamaan cahaya_Nya itu adalah seperti lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita ; pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang yang cemerlang yang dinyalakan dengan minyak dari pohon zaitun , yang tumbuh tidak di timur dan tidak di barat , yang minyaknya member cahaya sekalipun tidak disentuh api (QS. XXIV : 35)
Itulah Tuhan. Tuhan itu adalah cahaya dan Cahaya itu tersembunyi di hati manusia ; dan itulah Cahaya yang dinyalakan dengan minyak zaitun , yang bukan dari timur maupun dari barat.
Tempat peribadatan kaum Yahudi dengan 10 tabirnya menggambarkan tubuh manusia dengan berbagai lapisannya.
Lampu dari orang Israil dalam tempat beribadat itu diminyaki dengan “ minyak zaitun murni yang diperas untuk cahaya untuk membikin lampu itu menyala selama-lamanya “ (Exodus, Injil XXVI : 21).
Seperti Zaahir , begitulah Bathiin – “ seperti yang tampak , begitulah yang sebenarnya “.
Tapi cahaya itu dalam diri setiap orang , yang disebutkan dalam Quran , adalah diminyaki dengan semacam minyak , yang tidak dari timur dan tidak dari barat , dan itu hanya dirasakan , kalau seseorang merenungkan dan bersemedi dalam dirinya.
Dia itu adalah cahaya yang “ menerangi setiap orang yang lahir ke dunia “ (St. John, 1 : 4).
“ Tak ada yang kutemukan di dunia , yang bisa menunjukkan yang ada di hati. Cahaya yang bersinar tanpa sumbu tanpa minyak dan tanpa nyala “.
____dan dalam jiwamu ada tanda-tanda yang tak kau lihat ?____ Inilah Sir-i-Haqq (Tahap ke-Aku-an dari Tuhan ) , yang bersinar dalam hati , apabila semua pengaruh eksternal (luar) sudah dipupus ,
seperti dikatakan Maulaanaa : “ Katupkan bibirmu , picingkan matamu , sumbat telingamu , bila engkau tidak melihat sir dari Tuhan, maka tertawakanlah kami “.
Dengan menutup semua jalan bagi tanggapan (persepsi) dan dengan memusatkan pikiran pada diri sendiri , seseorang mendapat kilasan pandang (tajallii) dari Realitas , yang tidak bisa diberi definisi (ditegaskan) ; dan perluasan dari kilasan-pandangan ini membawa orang kepada suatu keadaan , yang hanya dia sendiri yang bisa menyadari.
Praktek/latihan ini sudah dikenal dan dipraktekkan oleh ahli-ahli sejak lama , sejak masa Pythagoras dari Samos (lahir 570 atau 580 SM) , yang mungkin telah mendapatkannya dari perjalanannya ke Mesir. Pythagoras telah menentukan suatu cara membisu selama 5 tahun , sebelum menerima murid-2 di biaranya.
Zakaria , ayah dari John Pembaptis , menjadi bisu selama beberapa hari (Lukas, Perjanjian Baru, I : 20 : 22).
Plotinus dan Proclus bicara tentang wahyu tertinggi mengenai hal-hal ke-Ilahi-an yang bias diberikan kepada jiwa , yang telah menarik dia ke dalam dirinya sendiri dan menjadi mati terhadap terhadap semua yang eksternal (luar) ; yang kenyataannya , yang “melihat dengan mata tertutup”.
Eckhart berpendapat “ seseorang yang sungguh-sungguh berke-Ilahi-an sudah diciptakan begitu , bersatu dengan Tuhan ; bahwa dia tidak memikirkan Tuhan atau mencari Tuhan di luar dirinya sendiri”.
Gerakan membisu (Quietism) di Perancis, Italia dan Jerman , dipimpin oleh Madam Guyon, Michael de Molinos dan Fenelon pada akhir abad ke 17 . mempunyai objek yang sama , yaitu mendapatkan cahaya Tuhan dalam hati manusia ; atau seperti yang dikatakan seorang penyair Urdu :
“ Gambar Sahabat terpampang di cermin dari hati ; Kapan saja engkau menunduk, engkau melihat-Nya di situ “.
Moral dari gerakan membisu ini bukanlah untuk membuat orang tak peduli kepada dunia dan menjadi fatalistic (pasrah saja) ; tapi untuk membuat mereka mampu menerima ketergantungan kepada Tuhan (tawakkal) dalam semua usaha mereka, dan merasa puas dengan hasil dari usaha-2 itu (ridha).
Bila Dzat itu diibaratkan dengan lautan , Harus Keberadaannya (Wujud Wajib) adalah seginya , yang adalah tenang dan tenteram ; dan Keberadaan Mungkin (Wujud Mungkin) adalah seginya yang memperlihatkan ombak dan gelombang ; dan Sifat adalah gerak-gerik daripada ombak dan gelombang. Bila ombak dan gelombang itu menghilang ; maka lautan akan tetap selama-lamanya ; tanpa ada sesuatu tambahan kepadanya atau pengurangan daripadanya--- (Dia sebagaimana Dia sebelumnya) ‘ seperti dikatakan sebuah Hadist.
Dengan mawas diri ke dalam Realitas-Nya , suatu titik muncul dalam keluasan Kesadaran Tertinggi—“ Aku adalah sebenarnya Tuhan dan Tiada Tuhan kecuali Aku”.
(bersambung)