Petani Makin Miskin
JAKARTA, KOMPAS.com - Pendapatan riil petani tidak juga meningkat meski produksi pangan terus meningkat. Padahal, setiap tahun, 25 juta rumah tangga petani memproduksi pangan, meliputi padi, jagung, kedelai, ubi kayu, dan ubi jalar, yang nilainya Rp 258,2 triliun.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, nilai tukar petani terus merosot. Pada tahun 1976, nilai tukar petani 113, pada 1979 dan 1989 bahkan mencapai angka tertinggi, yakni 117. Namun, pada 1993 merosot menjadi 95 dan tahun 2009 nilai tukar petani bulanan tertinggi hanya 101.
Penguasaan lahan petani juga makin sempit. Jumlah petani yang berubah status menjadi buruh tani pun makin banyak karena tidak lagi memiliki lahan sendiri.
Sumitra (62), petani Desa Baiawak, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, misalnya, kini menggarap lahan yang disewanya. Lahan pertanian seluas 0,5 hektar yang pernah dimilikinya telah terjual.
”Sewa lahan terus naik, belum lagi biaya pupuk, obat, upah buruh, dan bayar pompa. Boro-boro beli barang, bisa makan cukup dan tak punya utang saja sudah sangat bersyukur,” katanya, akhir pekan lalu di Majalengka.
Jumlah petani gurem atau dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar pada sensus pertanian tahun 1993 mencapai 10,69 juta rumah tangga petani. Namun, setahun kemudian, jumlahnya naik 2,6 juta rumah tangga petani menjadi 13,29 juta rumah tangga petani.
Menurut Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Endriatmo Soetarto, jumlah petani yang ”lapar” akan tanah makin banyak. Di Mahkamah Agung saat ini ada sekitar 7.000 kasus agraria.
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian sekaligus Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Jember Rudi Wibowo, peningkatan produksi pangan tidak mampu memberikan peningkatan pendapatan riil yang memadai bagi aktor utama peningkatan produksi pangan, yaitu petani.
Ini karena kebijakan pangan nasional terjebak dalam peningkatan produksi yang membabi buta. Peluang investasi usaha budidaya pangan diberikan kepada swasta nasional dan multinasional, yang selama ini menggarap sarana produksi yang menjadi kunci penguasaan pangan nasional.
Rudi menegaskan, kesejahteraan petani terabaikan akibat ketidakjelasan arah pengembangan teknologi dan tidak konsistennya kebijakan. Sementara itu, kelembagaan yang berkenaan dengan petani dan pertanian cenderung makin tergerus.
Guru Besar Emeritus Institut Pertanian Bogor, Bungaran Saragih, dalam bukunya Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian, menyebutkan, politik pertanian pada masa lalu yang berorientasi pada peningkatan produksi ”menjebak” petani pada kegiatan usaha tani yang nilai tambahnya kecil.
Penurunan harga di tingkat konsumen langsung ditransmisikan dengan cepat dan sempurna ke petani. Namun, kenaikan harga ditransmisikan secara lambat dan tidak sempurna ke petani.
Persoalan lain yang juga mesti dihadapi petani adalah mudah rusaknya komoditas pertanian. Akibatnya, petani ”mudah menyerah” pada kehendak pedagang, terutama soal harga semata agar produknya segera terjual sebelum rusak. Ini yang membuat pendapatan petani tak juga meningkat secara riil.
Riset Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama Kabupaten Jombang di 21 kecamatan menyebutkan, petani tak punya daya tawar. Penyediaan sarana dan harga hasil panen ditentukan oleh pemilik modal (pedagang).
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/04/26/07522231/Petani.Makin.Miskin-5
----------------------------------------------------------------------
Tidak ada yang menggembirakan sebagai petani, selalu banyak masalah :
1. kelangkaan pupuk, sehingga menjadi sangat mahal.
2. biaya produksi yang selalu naik, dan tidak sebanding dengan kenaikan hg. gabah..
3. hg jual gabah yang tdk terkendali saat panen
Kita sudah merdeka puluhan tahun, kita negara agraris, tapi seberapa besar perhatian pemerintah kepada petani??? jangan cuma slogan dan janji2..