
Suatu hari sekitar pukul 10.00, Ny Eros (58) tergeletak kelelahan di sebuah teras rumah warga Desa Citeko, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Dagangannya yang belum laku berupa makanan tradisional, seperti kolak pisang dan agar-agar, dibiarkan teronggok di sampingnya.
Sekitar pukul 01.00 dini harinya ia baru saja melahirkan anak ke-10,” ujar Ny Hj Susi SLN (35), warga Citeko. Namun, beberapa jam setelah bersalin, ia harus sudah mengambil penganan di rumah Hj Cicoh (50), pembuat makanan tradisional di Desa Citeko. Seperti pekerjaan sehari-harinya ketika sedang hamil, Eros pun kemudian menjajakan makanan itu ke pelosok kampung di sentra keramik dan genteng Plered.
”Kalau tidak begitu, dari mana saya membiayai makan anak-anak sebab penghasilan dari suami tidak mencukupi,” ujar Eros. Suaminya, Asep (60), hanyalah tukang becak yang penghasilannya rata-rata sehari Rp 5.000, sementara keluarga Eros memerlukan uang untuk membeli lima liter beras sehari Rp 15.000. Lauknya cukup dengan kecap atau kerupuk yang diaduk dengan nasi. ”Kecap, kan, masih ada gizinya karena terbuat dari kacang kedelai,” ujarnya polos.
Tiada hari libur bagi Eros karena penghasilan bak air di daun talas. Perolehan hari itu habis hari itu juga. Itu pun kalau tidak ada yang ngutang. Karena itu, pada kondisi hamil hingga melahirkan anak ke-25 tiga tahun lalu, ia tetap menjalankan tugas hariannya menjajakan makanan, terutama untuk kuli harian. Buruh pembuat genteng dan keramik ini merupakan konsumen captive market bagi Eros, terutama saat mereka gajian, tiap Sabtu siang.
Ketika melahirkan anak ke-10, anaknya dijuluki Si Totos, maksudnya (Sunda) parantos (sudah). Julukan itu dimaksudkan agar anak itu merupakan anak terakhir. Namun, setahun kemudian lahir lagi anaknya dan dijuluki lagi Si Aat, maksudnya saat (surut), biar berhenti beranak. Namun, tahun berikutnya lahir lagi dan julukan akhir dan akhir lain pun terus mengalir hingga kelahiran anaknya yang ke-25.
Ketika punya anak ketujuh, Eros mengikuti anjuran seorang mantri ikut keluarga berencana. Ia pun disuntik KB setelah kurang cocok dengan pil KB. Namun, hal itu malah membuat badannya sakit, yang menyebabkan ia tidak bisa melakukan aktivitas dagang. Lalu, ia harus berobat ke puskesmas, dan itu pun berarti harus mengeluarkan biaya untuk membeli obat penahan rasa sakit.
”Masuk KB malah menjadi sakit,” katanya. Akibatnya, selain harus keluar uang, Eros juga kehilangan kesempatan memperoleh uang. Ia berhenti KB karena membebani.
Sabun colek
Dari berjualan makanan itu ia bisa memperoleh penghasilan Rp 15.000 sehari. Syaratnya, dagangan yang terdiri atas 100 biji papais (makanan khas Sunda), pisang cokelat, kolak pisang, dan agar-agar seharga masing-masing Rp 500 per buah harus laku semua. Eros mendapat bati (keuntungan) Rp 100 dari setiap makanan tradisional yang terjual. Kalau tidak laku, makanan itu boleh dikembalikan karena ia tidak bermodal.
Untuk memperoleh Rp 15.000 perak itu kadang harus dilakukan dengan tiga kali pengambilan dalam sehari. Pukul 05.00 ia mengambil rit pertama sekaligus mengawali aktivitasnya mencari nafkah. Untuk jadwal pertama ini ia berjalan ke utara kampung sejauh 1-2 kilometer. Pukul 10.00 ia kembali lagi ke rumah Hj Cicoh untuk mengambil barang rit kedua. Kali ini ia menjajakan ke arah barat kampung sejauh 1-3 kilometer, yakni ke arah Citalang, di seberang Waduk Jatiluhur.
Lalu yang terakhir, dengan catatan barang gelombang kedua sudah laku, ia kembali mengambil rit ketiga untuk barang yang sama. Kali ini ia berdagang keliling di sekitar kampungnya karena fisiknya mulai lelah. Pulang ke rumah biasanya selepas magrib atau sesudah matahari terbenam di ufuk barat. ”Tidak jarang ia istirahat di teras rumah orang karena kecapaian,” ujar H Ucin (65), tokoh masyarakat setempat.
Untuk menambah penghasilan, Eros membawa ikan asin mentah di sela-sela dagangan matangnya. ”Modal Rp 300.000 dari Hj Susi,” ujarnya. Ikan Asin itu dijual untuk para kuli harian wanita yang tidak sempat belanja untuk makan keluarganya.
Sebelum berdagang, Eros harus memandikan anak-anaknya, misalnya, ada tujuh orang sekaligus. Satu per satu anak-anak itu dibariskan lalu dibasahi dan diberi sabun colek mulai dari rambut hingga kaki. ”Sabun mandi harganya mahal,” ujarnya. Kalau kebetulan ada sayuran mentah (biasanya kangkung pemberian tetangga), ia memasak dulu. Kangkung itu diiris, persis seperti seorang gembala memberi makan bebek.