Bagaimana Modus Pat-Gulipat Pajak Terjadi? (BAGIAN I)

TEMPO Interaktif, Jakarta - Komite Pengawas Perpajakan (KPP) memang baru bertugas sejak 26 Maret lalu. Namun, belum sebulan, Komite Pengawas sudah menemukan puluhan modus yang bisa menyebabkan penerimaan pajak berkurang atau bahkan diselewengkan.
Berbagai modus itu terungkap dalam Rapat Panitia Kerja Perpajakan, Kamis (15/4). Materi rapat yang disodorkan Komite Pengawas menyebutkan berbagai titik rawan pada aparat pajak kita. Berikut trik patgulipat yang patut kita waspadai.
Pada proses pemeriksaan pajak, penyelewengan bisa terjadi pada saat petugas pajak mengkonfirmasi surat setoran pajak (SSP) atau surat pemberitahuan (SPT) tahunan dari wajib pajak. Permainan pun terjadi. Pemeriksa bisa mengobral temuannya yang belum tentu benar untuk mendapatkan fulus lewat negosiasi.
Jika nego gagal, maka pemeriksa akan memberikan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, artinya wajib pajak pun ditetapkan punya utang pajak kepada negara. Potensi “permainan” itu dipermudah karena tak semua temuan yang dibuat-buat oleh pemeriksa tercatat dalam Kertas Kerja dan proses formal lainnya. Akibatnya, tindakan penyalahgunaan itu tak bisa dilacak atau dibuktikan.
Pada penagihan, pembayaran bisa saja masuk ke kantor petugas pajak dengan menghilangkan surat ketetapan pajak (kohir). Pada account representative bisa terjadi negosiasi penegakan hukum secara lunak, atau bahkan bisa juga terjadi jual data.
“Permainan” juga bisa terjadi di proses Pengadilan Pajak. Caranya bisa dimulai dari kesengajaan wajib pajak untuk tidak memberikan data ketika proses pemeriksaan dan keberatan. Data yang lengkap disimpan, dan baru diberikan pada proses banding di Pengadilan Pajak.
Artinya, hasil pemeriksaan maupun keberatan tak akan berdasarkan data yang valid. Jika dibanding-bandingkan, hasil pemeriksaan seperti itu akan dengan mudah ditolak oleh Pengadilan Pajak. Wajib pajak pun akhirnya menang.
Masih di Pengadilan Pajak. “Permainan” bisa berupa diulurnya penerbitan surat keputusan. Semakin lama putusan keluar, makin besar bunga yang harus dibayar pihak yang kalah. Dengan kans tipis Direktorat Jenderal Pajak bakal menang, maka besar peluang negara pun yang harus membayar bunga itu. Sesuai ketentuan, bunga yang harus dibayar sebesar 2 persen dari nilai pajak yang diputuskan oleh pengadilan.
Seperti pada pemeriksaan, “permainan” itu pun sangat berpeluang terjadi karena tak tersedianya Berita Acara Persidangan (minutes) untuk konsumsi publik, bahkan Direktorat Jenderal Pajak. Alhasil, keputusan hakim dimungkinkan berbeda pada saat persidangan berjalan.
Komite Pengawas Perpajakan merangkum rawannya “permainan-permainan” tersebut sebagai akibat dari tak adanya proses check and balance, terutama pada pengawasan. Penyebab lainnya, Kantor Pusat Pajak hingga kini juga masih melakukan fungsi operasional, yakni pemeriksaan, bukti permulaan, penyidikan, keberatan, hingga banding.
Komite Pengawas pun menawarkan solusi dengan saran agar Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak tak lagi menjalankan fungsi operasional melainkan hanya fokus pada pembuatan dan analisis kebijakan, serta menjalankan pengawasan. Adapun fungsi operasional sebaiknya ditutunkan kepada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Wilayah.
Selain itu, jika perlu model pengawasan dilakukan 360 derajat. Artinya, antara atasan dan bawahan saling mengawasi. Bagaimana caranya? Dengan dibukanya mekanisme pembocor (wistle blower) untuk mengungkap praktir-praktik pelanggaran.
bersambung
http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2010/04/15/brk,20100415-240744,id.html