Beberapa hari yang lalu saya membaca buku ,karena ini kisah nyata dan saya merasa ceritanya menyentuh hati,...
saya memutuskan untuk membaginya kepada DSer sekalian semoga bermanfaat......
Sedikit Bicara
Seorang teman pernah bertanya ,”Siapa yang sedikit bicara tapi banyak bekerja?”
Saya terdiam sejenak dan berpikir mencari jawaban. Lalu saya ,menjawab, “Tentara! Karena,kalau sedang menyerang musuh, tentara tidak boleh ngobrol.”
Teman itu menyalahkan, lalu ia berkata dengan wajah serius namun kelihatan lucu, “Sedikit bicara tapi banyak bekerja ya maling. Mana ada maling yang berisik kalau sedang beraksi, Iya kan?’’
Saya tertawa mendengar jawaban itu begitu juga teman saya itu. Belakangan ketika mengingat kembali percakapan itu, ingatan saya lari ke rumah. Saya teringat sebuah sosok yang sangat dekat dengan kehidupan saya. Dia adalah ibu.
Mengingat aktivitasnya sehari-hari, ibu tidak lebih dari potret keterbelakangan wanita dusun. Beliau buta huruf, tidak bisa baca tulis. Bahkan untuk berbahasa Indonesia pun, beliau masih jauh dari sebutan bisa, apalagi fasih. Yang saya tau, ibu sedikit bicara tetapi selalu tidak betah kalau berdiam diri. Beliau akan menyibukan diri dengan apa saja yang bisa dikerjakan, demi keluarga. Namun yang jelas ibu bukanlah seperti orang yang dimaksud teman saya dalam percakapan di atas. Kasihan deh saya, kalau Anda berpikir demikian.
Sejujurnya, dulu saya pernah merasa sangat tidak puas dan menjadi malu karena ibu buta huruf atau tidak biasa baca-tulis. Hal ini memuncak ketika suatu hari seorang tamu datang ke rumah. Tamu itu berbicara kepada ibu kerena kebetulan ayah tidak ada di rumah. Dan bisa ditebak, jawaban ibu kacau balau!
Atau di lain kesempatan ,ketika ibu menjamu seorang tamu dan berkata(tentu dalam bahasa daerah), “silaq mengan julu mudi.” Maksud ibu hendak mengatakan, “Silahkan hidangannya dimakan lebih dulu’’. Kata-kata ibu itu selalu menjadi cerita lucu orang-orang. Mereka selalu tertawa kalau menceritakan hal itu. Dan Tentu saja, saya menjadi kesal dan malu karenanya. Orang-orang itu tertawa di atas kesedihan saya.
Mengingat kekurangan ibu itu, saya menjadi minder ketika bergaul dengan teman-teman sekolah. Saya selalu mencari alasan untuk menolak kalau mereka berencana datang ke rumah dan melihat orang tua saya. Saya sering mengalihkan pembicaraan setiap kali teman-teman bertanya tentang ibu. Memikirkan kekurangan ibu saja saya enggan, apalagi membicarakannya. Begiitulah, saya selalu menarik diri setiap kali teman-teman bercerita tentang ibu mereka. Saya iri pada ibu mereka.
Hari-hari selanjutnya, mata saya sering menatap tidak lembut kepada ibu. Ibu juga acapkali mendengar kata-kata ketus yang saya ucapkan, Saya sering tidak peduli betapa remuknya hati ibu ketika mendengan ucapan ketus saya. Saya nyaris terseret dalam kekelaman seorang anak ketika saya mulai membesar- besarkan kekurangan orang tua. Saya tau mereka baik tapi saya menuntut lebih dari itu. Teramat sering dalam banyak hal, saya tidak peduli bagaimana cara mereka memperoleh sesuatu yang saya inginkan. Satu hal saja yang saya pikirkan, mereka harus memenuhi keinginan saya.
Namun, waktu itu saya belum mengerti entah kekuatan apa yang membuat ibu tetap bersabar. Ibu masih memaafkan saya.
Sampai suatu ketika, seseorang bercerita kepada saya “ Satu tetangga kita sudah pergi untuk selama-lamanya.’
“Kenapa, sakit apa? ” tanya saya ingin tahu lebih jelas. “ Ia melahirkan seorang anak tetapi ia sendiri tidak selamat. Ia meniggal dunia,” jawabnya pelan.
Saya tersentak mendengar cerita itu. Saya tiba-tiba ingat ibu. Seperti terbangun dari mimpi buruk kemudian saya berpikir, bukankah ibu pernah berada dekat dengan keadaan separti itu ketika saya dilahirkan?
Hati saya bergetar memikirkan semua kejadian itu. Saya menagis ketika menyadari betapa buruknya pemikiran saya selama ini tentang ibu. Betapa lemahnya saya sehingga tidak mampu melihat begitu banyak sifat-sifat baik ibu. Saya tidak sada bahwa ibu adalah orang yang mengantarkan saya menjadi manuasia. Saya benar-benar buta bahwa awalnya saya hanya setetes sperma di rahim ibu. Ibu makan sehingga tubuh saya terbentuk. Berbulan-bulan tubuh saya menjadi beban di dalam perut ibu. Dan semenjak lahir, siang dan malam ibu menjaga saya.
Cerita orang itu seperti terus memanggil-manggil saya. Saya diingatkan lagi bahwa betapa besar pengorbanan yang dilakukan ibu. Ibu telah merawat saya sejak kecil. Ibu membiarkan perutnya kelaparan demi kekenyangan saya. Ibu merelakan dirinya kehausan demi lepasnya dahaga saya. Ibu memberi makan setiap hari. Makanan itu dari hasil perasan keringat,tetesan air mata, dan jerih payah sendiri. Dari makanan itulah jantung saya dapat didetakkan. Dan dari makanan itulah saya memiliki akal sehat sehingga bisa belajar di sekolah.......
lanjut.....