Tembakau telah cukup lama dikenal di Indonesia. Pada abad ke-17, Sir Thomas Stanford Raffles menulis mengenai tembakau di Jawa dalam bukunya yang legendaris, “The History of Java”. Sumber-sumber sastra Jawa seperti “Babad Ing Sangkala” menyebutkan bahwa tembakau diperkenalkan di Jawa kira-kira di waktu yang sama ketika Panembahan Senopati Ing Ngalaga--yaitu pendiri Kerajaan Mataram--wafat pada tahun 1602.
Raffles berpendapat bahwa bibit tembakau pertama kali dibawa masuk oleh bangsa Belanda. Namun sumber-sumber lain berpendapat bahwa bangsa Portugis-lah yang melakukannya. Di antara alasan yang dikemukakan ialah kata “tembakau” (tembako dalam bahasa Jawa) secara fonologis lebih dekat dengan kata “tumbaco” dalam bahasa Portugis, dibandingkan dengan kata “tabak” dalam bahasa Belanda.
Ahli botani dan zoologi dari Belanda, Rumphius, melaporkan bahwa pada tahun 1650, banyak perkebunan tembakau yang terdapat di Indonesia. Pada zaman VOC, sejumlah perkebunan tembakau besar dapat ditemukan di wilayah Kedu, Bagelen, Malang dan Priangan.
Pencarian Pulau Rempah-Rempah
Riwayat cengkeh, yang merupakan salah satu bahan baku utama rokok kretek, terjalin erat dengan sejarah Indonesia sendiri. Cengkeh pernah dihargai sangat tinggi karena khasiatnya sebagai obat. Harganya pun telah cukup mahal sejak zaman kerajaan Romawi Kuno. Maka tak heran banyak pedagang yang menjadi kaya melalui jual-beli cengkeh.
Rempah-rempah yang sangat dicari ini aslinya hanya tumbuh di lima pulau kecil di sebelah timur Sulawesi dan sebelah barat Papua. Untuk mengendalikan jual-beli cengkeh dari sumbernya, bangsa Belanda membentuk VOC dan Inggris membentuk Maskapai Hindia Timur (EIC) pada awal abad ke-17. Sejak itu dimulailah zaman kolonial dan penjajahan asing di Asia.
Orang baru mulai menambahkan cengkeh sebagai campuran rokok pada akhir abad ke-19. Tren tersebut cepat disambut masyarakat dan dalam beberapa tahun saja, rokok kretek telah mulai diproduksi secara komersial.
Penemu kretek
Pada awalnya, rokok di Indonesia hanya dibuat di rumah, dilinting dan dibungkus dengan kulit jagung.
Orang yang diyakini pertama kali mencampurkan cengkeh ke dalam rokok adalah Haji Jamhari, seorang warga Kudus.
Ia mulai memproduksi dan memasarkan penemuannya. Pada awalnya rokok kretek dijual melalui apotek. Dengan meningkatnya popularitas kretek, berbagai industri rumahan turut menjamur memproduksi rokok kretek.
Awal produksi massal
Haji Jamhari wafat sebelum dapat meraup kekayaan dari rokok kretek. Hal ini justru diteruskan oleh seorang warga Kudus yang lain, yaitu Nitisemito. Ia mengubah industri rumahan tersebut menjadi produksi massal melalui dua cara.
Pertama, ia menciptakan mereknya sendiri, yaitu Bal Tiga, dan membangun citra merek tersebut. Nitisemito melancarkan kampanye pemasaran yang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia. Label-label yang cantik dicetaknya di Jepang dan berbagai hadiah diberikan secara cuma-cuma kepada perokok setianya bila mereka menyerahkan bungkus kosong produknya. Kedua, ia mulai mengerjakan berbagai tugas melalui subkontrak. Misalnya ada pihak yang menangani para pekerja, sedangkan Nitisemito menyediakan tembakau, cengkeh dan sausnya.
Praktik seperti ini cepat diadopsi oleh perusahaan kretek yang lain dan berlanjut hingga pertengahan abad ke-20, ketika perusahaan-perusahaan mulai merekrut para karyawan sendiri untuk menjamin kualitas dan loyalitas.
Pada era 1960-an, konsumsi kretek menurun dibandingkan rokok putih, karena dianggap memberikan para perokoknya citra yang lebih prestisius. Namun pada era 70-an, industri kretek mengalami revolusi, sehingga kretek dapat berjaya hingga hari ini.
Pada pertengahan 70-an, kondisi ekonomi yang meningkat menarik investasi luar negeri ke Indonesia. Pemerintah menginvestasikan arus masuk uang ini untuk mengembangkan industri pribumi, dan menawarkan pinjaman berbunga rendah kepada produsen kretek.
Rokok kretek buatan mesin juga pertama kali muncul pada era ini, sehingga pembuatan kretek dapat diotomatisasi. Bentuk dan ukuran rokok kretek jenis baru yang seragam ini menjadi kesukaan kalangan atas, dan pada akhir 70-an, rokok kretek telah bersaing langsung dengan merek luar negeri.
Akhirnya, kebijakan transmigrasi pemerintah pada era 70-an turut memastikan bahwa rokok kretek tersebar ke seluruh penjuru nusantara. Transmigrasi yang bertujuan untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa dengan memindahkan masyarakat ke pulau-pulau lain ini mendorong perusahaan kretek untuk memperluas distribusinya secara nasional. (Sumber : Hanusz, Mark. Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia's Clove Cigarettes, Singapore: Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd. (2000); wikipedia http.wikipedia.org )
link http://www.sampoerna.com/content/Bahasa ... efault.asp