
Makam di Blitar yang didirikan untuk Soekarno merupakan perspektif lain dalam strategi Suharto. Pada awalnya, Suharto, menolak permintaan terakhir Soekarno untuk dimakamkan di Bogor, dekat dengan istana presiden dan (yang berarti) dekat dengan pusat kekuasaan di Jakarta. Makam di Blitar, yang pada awalnya hanya sebuah makam sederhana orangtua Soekarno, berkembang menjadi sebuah konstruksi besar yang saat ini menarik ribuan peziarah setiap harinya.
Kebiasaan orang Indonesia berziarah ke makam pahlawan sudah dikenal sejak tahun-tahun pertama Republik Indonesia berdiri. Di tahun 1957, Soekarno membangun sistem pengenangan terhadap pahlawan, dimana hari Peringatan Pertempuran Surabaya menjadi hari libur nasional untuk mengenang para pahlawan Indonesia. Sampai hari ini, tanggal 10 November menjadi salah satu tanggal yang paling sakral dalam tanggal-tanggal liburan politik di Indonesia.
Soekarno mulai menciptakan sistim formal untuk meningkatkan nilai kepahlawanan, ia mulai mengembangkan semangat patriotisme mengenang pahlawan dengan memusatkan dimensi ritual untuk menghormati para leluhur politik. Ia mengembangkan serangkaian upacara yang rumit yang juga dapat meningkatkan legitimasi pemerintahannya. Pengambilalihan kekuasaan yang tiba-tiba pada tahun 1966, bagaimanapun, tidak mengakibatkan perubahan signifikan dalam politik pahlawan-isme. Suharto terbukti menjadi penerus yang setia dalam hal ini, ia mengubah isi ideologis tetapi tidak menyentuh ritual asli Hari Pahlawan itu sendiri.
Pemerintah Orde Baru mulai melakukan upacara ziarah tahunan ke makam Soekarno. Pada Hari Pahlawan 10 November 1986, setelah Soekarno ditetapkan menjadi Pahlawan Proklamator pada tanggal 23 Oktober 1986, wakil ketua DPR/MPR RI saat itu, M. Kharis Suhud (bukan Suharto sendiri), memimpin langsung delegasi pertama dari Jakarta untuk memberikan penghormatan dengan berziarah ke Blitar.
Dengan demikian, rezim Orde Baru berhasil menggabungkan kultus tidak resmi yang telah dikembangkan di sekitar makam selama bertahun-tahun ke dalam bingkai ritual tahunan negara. Pengikut Soekarno puas bahwa kelompok mereka akhirnya diterima. Di sisi lain, Suharto bisa menampilkan dirinya sebagai yang tokoh setia dan saleh dan diakui sebagai bagian dari “Keturunan Pendiri Republik”.
Ketika Suharto tidak bisa mengenyampingkan Soekarno, baik secara politis ataupun secara ritual, Suharto selalu menekankan pembaktian dirinya terhadap para pendahulu dan mendefinisikan peranannya terhadap Soekarno - sesuai dengan tradisi Jawa - bagaikan anak terhadap ayahnya. Hal ini merupakan faktor yang penting karena isu perebutan kekuasaan dari Soekarno adalah sebuah isu terbuka yang kontroversi.
Suharto selalu menekankan bahwa ia mendapatkan kekuasaan sesuai dengan konstitusi. Sudah diketahui secara luas - terutama setelah debat publik- bahwa peristiwa pada awal tahun 1967 dimana para anggota MPRS menolak pembenaran Soekarno dan akhirnya memilih Suharto sebagai Pejabat Presiden, merupakan tindakan yang dengan hati-hati dipilih oleh Suharto sendiri. Kritikan yang berisikan tindakan inkonstitusional selalu menjadi isu sensitif bagi kekuasaan Suharto dan selalu dianggap sebagai serangan terhadap Stabilitas Nasional.
Dengan berkurangnya peran Soekarno dalam sejarah menjadi proklamator kemerdekaan, maka Suharto dengan mudah bisa mengidentifikasikan dirinya sejajar dengan para pendahulunya. Dengan demikian ia bisa meningkatkan prestise-nya, terutama di mata para masyarakat Jawa dan para pengikut Soekarno, dan dengan demikian dapat memenangkan suara dalam Pemilihan Umum 1987.

Hingga saat ini, sosok Soekarno masih menjadi simbol pertentangan dan kekuatan dalam proses politik di Indonesia. Ia menjadi magnet bagi kelompok-kelompok oposisi dan berpotensi menjadi ancaman bagi pemerintahan yang ada. Figurnya dalam kancah politik seolah bagaikan lelembut, menghantui manusia selama ia tidak diperlakukan dengan benar oleh mereka. Rehabilitasi dan penggabungan ke dalam jajaran resmi adalah bagian dari upaya untuk tetap dan memenuhi keinginan arwah sehingga menjadi arwah leluhur, arwah yang tidak berbahaya.
Schreiner, Klaus H., “National ancestors: the ritual construction of nationhood”, in “The potent dead. Ancestors, saints and heroes in contemporary Indonesia”, ASAA Southeast Asia Publication Series, Australia, 2002, hal 183-201.
Notosusanto menulis bahwa: Pancasila bukan pemikiran satu orang, melainkan hasil percakapan panjang dari 29 Mei - 18 Agustus 1945, dan penggali Pancasila bukan hanya Soekarno melainkan Yamin dan Supomo, sedangkan jasa Soekarno hanya pada pemberian nama Pancasila (Notosusanto, 1981).
http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/3/1436/soekarno_arwah_leluhur_atau_lelembut_/#883306koki