
Mereka yang pernah menikmati keelokan Danau Toba mungkin tidak dapat membayangkan kengerian
yang ditimbulkan dalam proses ”penciptaannya”.
Begitu melintas di kelokan jalan mendekati Parapat, kota wisata di pinggir Danau Toba, birunya hamparan
air dan panorama dinding batu perbukitan Pulau Samosir yang menjadi latar langsung memesona.
Keindahan panorama Danau Toba tidak terjadi begitu saja. Danau vulkanik terbesar di dunia itu terbentuk
dari rangkaian proses geologis dan vulkanis mahadahsyat. Setidaknya ada tiga letusan gunung api besar
mengiringi terbentuknya Danau Toba. Letusan terakhir terjadi 74.000 tahun silam.
Majalah Science mencatat, letusan termuda Gunung Toba merupakan peristiwa vulkanis paling besar di
bumi dalam dua juta tahun terakhir. Letusannya memuntahkan 2.800 kilometer kubik magma, yang 800
kilometer kubik di antaranya terbang ke atmosfer, menyelimuti lapisan Bumi sepanjang Laut China Selatan
hingga Laut Arab.
Adalah antropolog University of Illinois di Urbana-Champaign, Stanley Ambrose, yang pada tahun 1998
memperkenalkan Teori Bencana Toba. Berdasarkan teori ini, letusan Gunung Toba mengubah iklim global.
Akibatnya, populasi manusia berkurang drastis. Garis evolusi yang menghubungkan spesies manusia
modern dengan primata lain terputus. Teori ini memang diperdebatkan, tetapi cukup menggambarkan
kedahsyatan letusan.
Kaldera yang terbentuk dari tiga kali letusan menjadi Danau Toba. Letusan terakhir menyempurnakan
pembentukan Danau Toba dan Pulau Samosir, setelah letusan pertama 800.000 tahun silam hanya
membentuk kaldera di sekitar Parapat hingga Porsea dan letusan kedua sekitar 500.000 tahun lampau
membentuk kaldera di daerah Haranggaol dan Silalahi.
Sekarang, bekas peristiwa vulkanik luar biasa ini hanyalah keindahan alam. Kaldera besar menjadi danau
dengan panjang mencapai 100 kilometer dan lebar 30 kilometer. Bukit-bukit batu terjal yang mengelilingi
danau terlihat eksotis. Kecuramannya menghunjam langsung ke pinggiran danau. Pulau Samosir mirip
dinding batu raksasa membentengi air danau.
Saking luar biasanya panorama ini, Pangeran Bernard dari Belanda mengizinkan namanya dipakai ”menjual”
Danau Toba. ”Juallah nama saya untuk danau ini. Saya tak dapat melukiskan betapa indahnya Danau
Toba,” puji sang pangeran saat berkunjung ke Toba tahun 1996.
Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, Danau Toba adalah salah satu tujuan wisata utama. ”Penerbangan
langsung Eropa-Medan sempat ada sebelum krisis. Garuda dan KLM dari Eropa transit di Medan sebelum
lanjut ke Denpasar,” ujar pemilik salah satu hotel di Parapat, Hendry Hutabarat.
Turis-turis Eropa seolah tak puas hanya menikmati Lake Como di Italia. Turis berkebangsaan Belanda, Nellie
Tyssen, mengatakan, ”Di sini saya tak perlu khawatir kedinginan ketika di Eropa justru sedang musim
dingin. Saya tak bosan tiap tahun datang ke sini.”
Hampir semua wilayah sekeliling danau punya panorama alam yang jadi tujuan wisata. Semua terbagi dalam
tujuh kabupaten, yakni Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, dan
Samosir. Umumnya wisatawan menikmati keelokan Danau Toba dari Parapat di Simalungun dan Tuktuk
Siadong di Pulau Samosir.
Dari dataran tinggi Karo di sebelah utara, keelokan danau terlihat memanjang dipandang dari
Sikodonkodon. Namun, hanya ada satu resor di sini. Di sisi barat, pemandangan danau dan Pulau Samosir
dapat dengan sempurna disaksikan dari Tele. Ada gardu pandang di ketinggian sekitar 1.000 meter dari
permukaan laut.
Di Parapat, sedikitnya ada 900 kamar hotel berbagai jenis, mulai dari bintang empat hingga homestay, di
Tuktuk juga tak berbeda. Baik di Parapat maupun Tuktuk, wisatawan dapat langsung menikmati danau
dari pinggirannya. Tarif hotel di Tuktuk dan Parapat bervariasi, sesuai tipikal turis yang datang. Mulai dari
Rp 30.000 hingga Rp 500.000 per malam tergantung tipe hotel.