Pengantar
Secara umum kita memahami mujizat sebagai peristiwa yang diluar perhitungan atau jangkauan akal manusia. Misalnya, seseorang divonis dokter karena penyakitnya yang parah tidak akan dapat disembuhkan, tapi ternyata kemudian dia sembuh. Atau orang yang mengalami kecelakaan lalu lintas yang sangat fatal, mobilnya ringsek, tapi ternyata dia selamat dengan hanya luka-luka kecil. Atau orang yang dulunya buta, tapi setelah didoakan eh dia bisa melihat.
Pengertian tersebut di atas sebetulnya sudah ada sejak dahulu. Adalah Agustinus, seorang Bapa Gereja, yang mendifinisikan mujizat sebagai suatu kejadian yang berlawanan dengan apa yang diketahui tentang alam. Jadi, mujizat di sini adalah sesuatu yang suprarasional (melampaui rasio kita).
Akan tetapi seiring berjalannya peradaban manusia, mujizat juga mengalami perkem bangan makna. Ada mujizat yang rasional. Di sini mujizat berarti sesuatu yang sebelumnya tak terpikirkan. Sebagai contoh adalah temuan-temuan ilmu dan teknolo gi. Komputer generasi pertama besarnya sebesar gedung perpustakaan, kini cukup hanya sebesar telapak tangan (palmtop) adalah sebuah mujizat, yang dengannya mengirim surat cukup dengan dua atau tiga detik saja ke berbagai penjuru dunia.
Ada juga mujizat spiritual, yang menunjuk pada peristiwa-peristiwa yang mencahayai hubungan kita dengan Allah. Misalnya saja ketika Yesus menyembuhkan orang yang sakit karena si sakit merespons kuasa Yesus dengan imannya. Mujizat ini juga merupakan tindakan langsung dari kerahiman (rasa belas kasih) Allah itu sendiri.
Sebenarnya, hal-hal yang biasa dan sehari-hari terjadi juga adalah mujizat. Dan ini yang sering tidak kita sadari. Misalnya, dulu kita adalah seorang bayi yang mungil dan lemah. Namun sekarang kita beranjak menjadi dewasa dengan badan yang lebih besar dan tegap daripada orang tua kita. Pertumbuhan ini kita yakini sebagai mujizat Tuhan (ada karya Tuhan di dalamnya).
Lalu apa dan bagaimana sebetulnya mujizat menurut Alkitab?
Mujizat dalam Perjanjian Lama
Setiap mujizat besar dalam Alkitab selalu didahului oleh mujizat-mujizat yang lebih kecil. Mujizat yang lebih kecil itu sendiri sebenarnya hendak mempersiapkan manusia pada mujizat yang besar itu. Pernyataan ini sama seperti tanda. Sebuah tanda tidak lah lebih berarti daripada apa yang ditandakan.
Sebenarnya ada banyak hal yang merupakan mujizat dalam PL, misalnya : peristiwa penciptaan di mana kekacaubalauan diubah menjadi suatu ketertiban dan keteraturan; Allah yang berbicara kepada bapa leluhur Israel dan menjawab doa-doa mereka dengan cara-cara yang mengherankan bahkan tak terbayangkan; Allah yang tampil dalam semak belukar yang menyala, api dan awan; Allah yang meluputkan Israel dari serangan Asyur (2 Raj. 20) dsb. Namun, peristiwa yang biasanya dianggap mujizat yang khas dari Perjanjian Lama adalah peristiwa keluaran dari Mesir.
Kata yang digunakan untuk menyebut mujizat adalah oth (=tanda) yang dipergunakan untuk sejumlah tulah yang menimpa Mesir (Kel. 7). Peristiwa-peristiwa ini tidak harus menjadi peristiwa yang luar biasa karena ia menunjuk pada peristiwa yang lebih agung, yaitu peristiwa keluaran dari Mesir.
Sebenarnya, berbagai tulah di Mesir itu tidak perlu terjadi, seandainya Firaun mau percaya dan taat pada kuasa Allah. Jadi, bisa dikatakan bahwa mujizat yang terjadi saat itu merupakan sarana bagi Allah menyatakan keberadaan dan kuasa-Nya kepada manusia (Firaun dan orang Mesir). Kemudian, tanda-tanda itulah yang bermuara pada peristiwa keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir sebagai sebuah bangsa yang merdeka.
Dalam kehidupan bangsa Israel pasca Mesir, peristiwa mujizat atau munculnya tanda juga masih terjadi. Dalam Ul. 13-3, ada nabi atau pemimpi yang bisa melakukan tanda atau mujizat. Hanya saja, Allah memperingati Israel agar mereka tidak terbujuk oleh nabi atau pemimpi itu untuk mengikuti allah lain. Jadi, terjadinya tanda atau mujizat itu seharusnya menunjuk pada kuasa dan keagungan Allah, bukan si pembuat mujizat atau allah lain.
Mujizat juga bisa merujuk kepada ketepatan waktu Allah dalam menolong dan menye lamatkan umat-Nya. Misalnya pada peristiwa manna dan burung puyuh ketika bangsa Israel dalam perjalanan di padang gurun. Juga ketika Musa membelah laut merah dengan tongkatnya. Belakangan para ahli menunjukkan bahwa semua itu adalah peristiwa alam, tapi toh kenyataan ini tidak mengurangi nilai mujizat di dalamnya; bahwa peristiwa alam itu terjadi tepat pada saat yang dibutuhkan, itulah mujizat.