Polemik yang Bernama Kawin Siri
Liputan6.com, Jakarta: Ketua PWNU Jatim KH Mutawakkil menyatakan jerat pidana terhadap pelaku nikah siri bertentangan dengan syariah. Sesuai syariah Islam, persyaratan nikah itu harus ada wali, ijab kabul, mas kawin dan saksi, tanpa ada ketentuan dicatatkan di instansi pemerintah.
"Syarat ini dibenarkan semua mazhab dalam Islam, mulai mazhab Imam Syafi`i, Hanafi sampai Hambali," kata Mutawakkil, Sabtu (20/2). KH Mutawakkil khawatir jika RUU ini disahkan menjadi UU, maka akan menuai protes luar biasa dari masyarakat serta menimbulkan azab besar. Azab besar datang karena hukum negara sudah bertolak belakang dan menentang hukum agama.
Tentang nikah kontrak, KH Mutawakkil memandang, keabsahannya masih diperdebatkan ulama jika batas waktu kontrak tidak disebutkan dalam akad ijab kabul. Namun jika batas waktu itu disebutkan, maka sesuai mazhab Syafi`i, pernikahan itu tidak sah.
KH Mutawakkil juga tidak setuju dengan ancaman pidana terhadap pelaku poligami yang tidak melalui izin pengadilan. Alasannya, poligami adalah salah satu cara menghindari perzinahan. "Bukan berarti saya mendukung poligami, saya hanya membela syariah agama. RUU ini mempersulit umat Islam. Saya khawatir hal itu malah mendorong seseorang melakukan perbuatan zina. Biarkan umat Islam melakukan secara bebas syariatnya. Tolong jangan campur tangan pada amaliah syariah yang bersifat personal," katanya.
Sementara itu, Ketua Pusat Studi Wanita (PSW/LPPM) Universitas Airlangga, Surabaya, Dr Emy Susanti Hendrarso MA menilai, semangat RUU ini adalah demi melindungi perempuan supaya tidak masuk ke perkawinan bermasalah. Namun, lanjutnya, jangan sampai ketika nanti disahkan, aturan ini bisa menjadi bumerang bagi perempuan. Artinya, harus ada pengecualian bagi pelaku nikah siri dengan alasan tidak punya uang (miskin) atau karena budaya.
"Dari para peserta perkawinan massal yang diadakan instansi-instansi, sering diperoleh informasi bahwa mereka tidak mencatatkan perkawinannya selama ini karena miskin, tidak punya uang. Karena itu, terkait budaya dan kemiskinan, harus ada tafsir sendiri untuk nikah siri," kata Emy.(Ant/AYB)
Banyak tokoh Agama di fihak pemerintah beralasan..
Bahwa Kawin siri merugikan kaum perempuan..
Juga kelak merugikan anak-anaka hasil perkawinan tsb..
Misalnya, sang anak kelak tidak dapat harta warisan.. dsb..
Menurut saya, itu hal yg aneh..
Soal warisan tentunya bergantung pada kaya miskin sang kepala rumah tangga..
Dijaman modern seperti sekarang, urusan warisan bisa melalui pengacara..
Tidak ada lagi diharuskan ikut hukum negara..
Siapapun berhak dapat warisan, apabila memang namanya tercantum pada surat wasiat..
Anak yg sah hasil perkawinan, belum tentu dapat warisan.. contoh: Kiki maria (anaknya Suzanna)
Apakah bila melakukan perkawinan yg tercatat oleh negara..
Maka bisa dipastikan anak-anaknya kelak dapat warisan?
Apakah negara akan ikut campur bila ternyata si anak tsb tidak dapat warisan?
Warisan sangat bergantung pada kekayaan orang tua ybs..
Lha.. kalo urtunya kere.. mau dapat warisan dari Hong Kong?
Menurut saya sih..
Ini cuma akal-akalan (siapa ya?) untuk menggiring opini kita..
Sehingga "lupa" pada persoalan yg jauh lebih besar.. misalnya: Bank Century :