Memaknai Kekalahan
Oleh Doharman Sitopu

Eminem : lose yourself
Kekalahan bukan aib
Kemenangan, kesuksesan, kebahagiaan, adalah suatu kondisi yang selalu kita idam-idamkan. Positive thinking, semangat berkompetisi, strategy to win adalah how to ( cara ) yang sedang marak dan menjadi trend yang sedang mewabah di mana-mana dan di semua kalangan.
Semua orang mendambakan penghasilan lebih besar (Bigger), semua menginginkan posisi lebih tinggi (higher), semua bercita-cita menjadi manusia yang paling baik (better).
Oleh karena persaingan hidup dan ethos kerja yang selalu digembar-gemborkan, demi loyalitas pada pekerjaan dan integritas diri, dan pada akhirnya orang ingin meraih suatu hasil yang gilang-gemilang, sehingga tidak jarang terdengar motto sukses adalah sebuah keharusan.
Tidak jarang para motivator dan profokator berlomba-lomba mem-branding diri dan bahkan memasang tarif untuk memberi pembelajaran tentang bagaimana caranya untuk menjadi orang sukses.
Itu semua sah-sah saja, dan tak ada salahnya. Namun dibalik arus yang demikian derasnya, tidak sedikit manusia mengalami kegagalan yang berakhir pada keputusasaan akibat ketidaksiapan menerima kekalahan.
Pada dekade akhir-akhir ini, kalah adalah suatu kondisi yang harus dihindari, bila perlu diusir jauh-jauh dari kehidupan setiap orang. Kalah adalah pecundang yang merupakan aib memalukan, yang membuat harga diri turun, yang membuat rating melemah bak harga saham yang ada di pasar modal.
Namun di balik itu semua, mereka lupa bahwa apabila tidak ada yang kalah, maka tidak ada pula yang menang. Mereka juga sering tidak sadar, bahwa sebuah batu yang duduk di pincak gedung pencakar langit, tidak mungkin jika tidak ada batu yang mengalah menjadi pondasi.
Coba kita perhatikan proses pengasahan perhiasan intan. Bagaimana jadinya apabila batu apung tidak rela mengalah dan menjadi debu, sehingga intan menjadi mengilap dan bernilai jual yang tinggi? Apa jadinya sebuah patung kayu yang sedang diukir, apabila tidak ada kertas ampelas yang rela kalah demi menghaluskan sang patung?
Menyikapi kekalahan, ukuran kedewasaan
Menjadi pemenang, seringkali membuat orang jumawa, sombong, dan lupa diri . Begitu pula saat menjadi pihak yang kalah sering kali membuat kita sedih, malu dan rendah diri. Menyikapi kedua hal itu hendaknyalah dengan kearifan dan kebijaksanaan. Itulah ciri kedewasaan.
Orang yangsudah dapat dikatakan dewasa adalah orang yang dapat menerima kekalahan maupun kemenangan. Selanjutnya kedewasaan yang sempurna akan menjadikan kita manusia yang bijak. Orang bijak akan selalu tersenyum, kendati didera kekalahan. Dalam semua hasil yang Ia peroleh selalu mengambil makna untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Dengan membawa alam pikiran kita ke dalam kondisi ketidak rumitan alis kesederhanaan, dan kehampaan, maka sebenarnya fenomena kalah dan menang adalah gejala alamiah. Dikatakan alamiah, adalah karena sifat dasar dari alam yang mengakomodir semua perbedaan.
Jika ada kemenangan, maka ada pula kekalahan. Jika ada jalan mendaki, maka ada pula jalan menurun. Jika ada puncak, maka ada pula lembah. Semua itu sudah diciptakan sang khalik sebagai dasar falsafah dan dasar pemikiran untuk kita jadikan acuan.
Tak terbayangkan apabila dalam dunia ini terjadi uniform-isasi dalam segala hal. Wajah semua orang sama, demikian juga hobby dan kesenanganya. Apabila seseorang senang main bola, dalam waktu dan tempat yang sama pula semua orang akan main bola. Bisa dibayangkan betapa kacau dan carut-marutnya situasi permainan tersebut.
Jika semua permukaan bumi ini berada pada ketinggian yang sama, maka yang terjadi adalah banjir di mana-mana, karena air akan menggenangi seluruh permukaan bumi.
Kesimpulanya, kalah itu dibutuhkan untuk memberi peluang bagi yang akan menang. Tidak mungkin semua menang pada saat dan tempat yang sama. Namun lain kesempatan siapa yang tahu?