Selanjutnya penentuan hari naas/sial, tidak memiliki dasar yang kuat, sekedar othak-athik gathuk. Begitu juga hari buruk berdasarkan tanggal Jawa, kenapa musibah air bah zaman Nuh dijatuhkan pada tanggal 8, bukan tgl lain? Bukankah hal ini sekedar pengurutan kisah para nabi (versi Islam) dan diberi nomor urut 1 sampai 30?
Sudah Dibebaskan oleh Tuhan Yesus
Sebagai orang beriman, bagaimana kita mesti menilai praktek mencari hari baik dan hari buruk ini? Apa landasan iman bagi kita untuk mengambil sikap?
Pelbagai perhitungan hari baik-hari buruk di atas sebenarnya membuat orang merasa cemas. Orang khawatir dan takut dengan perjalanan perkawinannya, seandainya dilangsungkan pada “hari buruk”. Justru, suasana ketakutan dan teror inilah yang juga telah ditebus oleh Tuhan Yesus. Tuhan Yesus sungguh sudah membebaskan kita semua, membawakan kabar gembira, dan berseru, “Jangan takut!” (Lih. Mat 14). Kalau pada zaman dulu Tuhan Yesus telah membebaskan umat Yahudi dari belenggu peraturan Taurat versi kaum Farisi, saat ini Dia juga mau membebaskan kita dari segala perhitungan hari baik-hari buruk. Tuhan Yesus mau membebaskan kita dari warisan nenek-moyang yang membuat kita merasa takut. Tulis Rasul Petrus, “Kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu, bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus” (1 Ptr 1-19). Adapun alasan kita tidak perlu merasa takut adalah adanya penyertaan Tuhan sendiri. Sabda-Nya, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28).
Lalu bagaimana kaitannya dengan rejeki dan kebahagiaan perkawinan pada masa mendatang? “Situasi kehabisan anggur” bisa saja terjadi pada keluarga Katolik. Tetapi, sejauh kita menghadirkan Kristus dan Bunda Maria dalam keluarga kita, semuanya bisa diatasi. Asal kita mau mendengarkan saran Maria untuk melakukan apa saja yang diminta Kristus, masa depan tak perlu membuat kita merasa cemas dan takut (Lih Yoh 2-11; selanjutnya lihat renungan kami dalam Seri Kado Perkawinan 2, hlm. 103-111). Janji Yesus, “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya” (Yoh 15). Asalkan kita mau mencari dan mengusahakan Kerajaan Allah terlebih dahulu, maka semuanya akan ditambahkan kepada kita (Mat 6).
Bukan Hari Baik, tapi Sebaiknya Hari ....
Jika demikian halnya, bagaimana sebaiknya orang Katolik menentukan hari pernikahan? Dahulu Gereja Katolik mengenal “tempus klausus”, yakni waktu tertutup untuk mengadakan pernikahan, yakni pada masa Prapaskah. Namun Hukum Gereja sekarang (1983) meniadakan “tempus klausus” tersebut. Statuta Keuskupan Regio Jawa Pasal 136 no.3 menyebut “Tidak ada larangan melangsungkan perkawinan selama masa Adven dan masa Prapaskah, tetapi hendaknya sedapat mungkin dihindari pesta meriah yang kurang sesuai dengan suasana Prapaskah”. Menjadi pertanyaan, mungkinkah umat Katolik di Indonesia melangsungkan pernikahan tanpa mengadakan pesta? Jika ingin merayakan Sakramen Pernikahan dengan pesta, sebaiknya tidak memilih masa Prapaskah.
Selanjutnya untuk menentukan hari pernikahan yang ideal, kita tidak perlu lagi berpikir untuk mencari hari baik, tetapi berpikir untuk menentukan “sebaiknya hari ...”, artinya dengan menggunakan pelbagai pertimbangan yang logis dan wajar. Berikut ini kiranya hal-hal yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, apakah tenggang waktu persiapan pernikahan masih memungkinkan untuk melengkapi pelbagai persyaratan administrasi perkawinan gereja, mengikuti kursus perkawinan, penyelidikan kanonik, dan pengumuman gereja selama tiga minggu berturut-turut?
Kedua, apakah “kelima orang” bisa bertemu, yakni kedua mempelai, pastor yang akan memberkati pernikahan, dan dua saksi pernikahan. Itulah yang minimal dituntut Hukum Gereja yang mesti hadir dalam pernikahan.
Ketiga, apakah secara teknis gedung gerejanya masih kosong? Penentuan jam pemberkatan di gereja perlu juga mempertimbangkan bahwa romo dan koster gereja pun perlu istirahat.
Keempat, kapan yang memungkinkan sebanyak mungkin tamu bisa hadir? Maka dewasa ini hari Sabtu-Minggu lebih banyak dipilih sebagai hari pernikahan.
Maka kesimpulannya, tidaklah salah Anda memilih hari pernikahan pada masa-masa dimana masyarakat sekitar umumnya menyelenggarakan pernikahan, namun tidak perlu sampai rinci mencari hari dan jam pernikahan berdasarkan petung tadi, tetapi cukup dengan pertimbangan logis-praktis “sebaiknya hari …”. Namun, Anda tetap bebas menentukan hari pernikahan di luar masa-masa umum (Rejeb, Besar, dll) tadi. Namun, ada sedikit catatan, untuk kita yang tinggal di masyarakat sekitar mayoritas muslim, tentunya tidak akan mengadakan pesta pernikahan pada bulan Ramadhan. Pilihan demikian tentu lebih didasarkan pada pertimbangan logis-etis untuk menghormati mereka yang tengah menjalankan ibadah puasa.
Demikianlah beberapa catatan mengenai penentuan hari pernikahan. Semoga memberi pencerahan.
:
Sumber: “Bagaimana Menentukan Hari Pernikahan?” dalam Seri Kado Perkawinan 1, (Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 2006), hlm. 85-93.
_________________
Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.(Rm 10)