Akibat perseteruan pekerja infotainment dengan artis Luna Maya, profesi wartawan dihujat masyarakat. Apalagi PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) ikut-ikutan melaporkan Luna Maya ke polisi. Padahal, pekerja infotainment itu bukan wartawan. Sekali lagi, BUKAN WARTAWAN.
Wartawan itu pekerja jurnalistik, pekerja pers. Pers itu bagian dari demokrasi. Sebagai kekuatan kontrol. Karena semua hal yang terkait dengan publik, masyarakat berhak mengetahuinya. Misalnya, Kebijakan pejabat negara, sipil mapun militer. Masyarakat berhak tahu karena para pejabat digaji dengan uang rakyat dan bekerja dengan menggunakan uang rakyat pula. Pejabat publik harus mempertanggungjawabkan kebijakan dan uang rakyat yang digunakan untuk menjalankan kebijakannya. Melalui media massa (cetak maupun elektronik), publik mendapat informasi kegiatan pemerintahan yang menggunakan dan APBN dan APBD.
Apakah Luna Maya seorang pejabat publik? Apakah Luna Maya digaji dengan uang rakyat? Apakah tindak-tindak Luna Maya bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat? Tentu saja tidak. Luna Maya mau kawin sama Ariel, mau pacaran sama genderuwo sekalipun, apa untungnya, apa ruginya masyarakat?
Inilah bedanya wartawan "news' dengan pekerja infotainment. Wartawan hanya menulis kegiatan tokoh, pemikirannya, kebijakannya atau prestasinya. Tidak mengorek-ngorek aibnya. Sepanjang aib si tokoh itu tidak mengganggu kepentingan umum atau lembaga. Bila seorang tokoh, misalnya bupati, gubernur, menteri atau siapapun, melakukan tindakan korupsi dan diekspos oleh media massa, karena aib itu merugikan rakyat.
Sedangkan pekerja infotainment mengorek-ngorek perselingkuhan atau perceraian artis, misalnya. Padahal, artis selingkuh, kawin cerai, dijamin tidak bakalan membuat suhu politik nasional memanas, nilai tukar rupiah anjlog, atau membuat harga saham jeblog.
Wartawan bekerja untuk perusahaan pers yang jelas dan ber SIUPP. Sedang pekerja infotainment bekerja untuk rumah produksi. Sebuah perusahaan yang menyuplai program acara ke sejumlah stasiun televisi. Itu sebabnya, dalam setiap tayangan infotainment, identitas atau kode si reporter tidak dicantumkan. Berbeda dengan wartawan media cetak yang mencantum nama atau kode di bawah tulisannya. Atau wartawan televisi yang disebutkan namanya dan lokasi liputannya.
Cara kerja wartawan pun berbeda dengan pekerja infotainment. Kendati sama-sama sering membuat narasumber kewalahan dan terpojok, wartawan mendesak dengan pertanyaan kritis yang terkait dengan kepentingan masyarakat, dan dilakukan pada koridor etika. Sedang pekerja infotainment mendesak sumbernya dengan pertanyaan kampungan. Karenanya, saya setuju dengan pendapat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang menyebutkan, infotainment tidak termasuk karya jurnalistik. Kalau toh infotainment tetap dianggap sebagai bagian dari jurnalisitik, itulah JURNALISME NYINYIR........
Solusinya?. Yang moderat mungkin diperlukan adanya regulasi khusus yang mengatur infotainment. Semacam undang-undang pers nomor 40 tahun 1999. Kemudian dibuatkan kode etik dan seterusnya. Yang ekstrem, gerakan masyarakat tolak acara infotainment yang sangat tidak mendidik dan membudayakan gosip.
peace................................