Jenis Kemarahan Yang Sama
Saya tidak tahu dengan persis kapan dimulainya dan bagaimana terjadinya, tetapi saya perhatikan bahwa pada diri saya akhir-akhir ini menunjukkan ciri-ciri seorang yang sedang marah. Saya tahu, ini bukanlah kemarahan yang biasa. Ini bukanlah kemarahan yang berdasar pada atau dipicu oleh ketidak-harmonisan hubungan dengan sesama manusia. Sejujurnya, saya sedang marah karena melihat kondisi gereja-gereja sekarang ini.
Ini bukanlah bermaksud untuk menyama-nyamakan diri saya sendiri dengan Yesus, dalam peristiwa yang barusan kita periksa itu tadi. Saya tahu, pastilah apa yang Dia rasakan pada waktu itu untuk rumah Tuhan, jauh melampaui apa yang saya sendiri rasakan sekarang ini. Tetapi, saya juga tahu, bahwa apa yang saya rasakan ini dan apa yang dirasakan oleh-Nya dulu (saya percaya, sekarang pun masih juga!) adalah satu dalam jenisnya.
Sebenarnya, perasaan ini sudah cukup lama juga saya rasakan – secara timbul-tenggelam. Tetapi, yang sedemikian intens saya rasakan adalah dalam beberapa bulan terakhir ini. Saat-saat khususnya adalah ketika saya sedang berkhotbah. Tidak peduli, apakah itu di gereja, di kantor-kantor perusahaan swasta dan lembaga-lembaga pemerintah, dalam acara perayaan ulang-tahun seseorang atau di mana saja pun pada akhir-akhir ini saya diundang untuk berkhotbah, selalu dengan emosi yang meledak-ledak. (Harap diketahui bahwa ini bukanlah semacam sindrom “semangat mula-mula”. Sebab, saya sudah berkhotbah mungkin hingga seribuan kali sebelumnya!). Ada dorongan yang sedemikian kuat di dalam diri ini untuk membukakan dan membeberkan bagaimana sebenarnya gereja dan kekristenan itu. Dan, bersamaan dengan itu, saya ingin menelanjangi semua kepalsuan yang telah diterima dan dipercayai oleh banyak orang selama ini, tentang bagaimana menjadi orang Kristen yang sesungguhnya itu.
Seringkali, saya sepertinya “menumpahkan” saja semua yang saya pikirkan dan rasakan pada saat berkhotbah itu kepada semua yang hadir. Dan, sering kali terjadi, pada satu titik, saya tersadar sendiri bahwa saya sepertinya sudah “memarah-marahi” mereka. (Ketika itu terjadi, saya pun buru-buru minta maaf atau berusaha untuk menetralisir keadaan dengan sedikit candaan atau guyonan).
Walaupun merasa sedikit lega, setiap kali habis berkhotbah itu (karena yah, paling tidak saya bisa cetuskan yang bergejolak di dalam diri saya kepada orang-orang yang hadir pada waktu itu), tetapi tetap masih ada rasa “frutrasi” juga, karena masih ada “bertumpuk-tumpuk” lagi yang masih memenuhi “gudang perbendaharaan” di dalam hati dan benak saya, yang tidak memungkinkan untuk “dikeluarkan” pada saat itu.
“Tidak memungkinkan,” sebab pada umumnya waktu yang diberikan untuk berkhotbah sangatlah terbatas (hal ini bukanlah disebabkan karena di Medan, Sumatera Utara, di mana saya tinggal dan melayani, waktu yang diberikan untuk khotbah lebih singkat daripada di tempat-tempat lain. Sebenarnya, waktunya sama saja seperti yang umum di mana-mana, yaitu sekitar 30 sampai 45 menit. Hanya pada akhir-akhir ini saja, saya sering merasa terlalu cepat kehabisan waktu. Penyebabnya, ya karena itu tadi, “tensi” saya sedang tinggi). Sebab lainnya adalah karena saya termasuk orang yang “susah hilang warasnya”. Jadi, biar emosi menggelegak seperti apa pun, “kontrol otomatisnya” masih tetap jalan juga. (Saya memang kurang cocok dengan filosofi: “hajar saja!”).
Banyak hal, yang tentangnya saya harus “menginjak rem” untuk membicarakannya, karena menyadari posisi saya sebagai pembicara tamu/undangan pada waktu itu. (Hal ini lebih khusus lagi, tentunya, jika sedang berbicara di gereja-gereja). Akhirnya ya, tetap saja ada banyak lagi yang masih “tertahan di dalam”. Syukurlah, akhirnya Tuhan bukakan juga buat saya sarana untuk penyalurannya, yaitu melalui buku ini – dan buku-buku lainnya, yang akan menyusul lagi selanjutnya.
Jadi, buku ini berisikan (sebagian dari) “kemarahan” saya, yang sedemikian menggelegak, yang selama ini lebih banyak tertahan di dalam diri saya, sekarang bisa saya tumpahkan (maksudnya, tuangkan) di sini. Karena itu, jangan kaget kalau buku ini terasa panas – khususnya ketika dibaca!
Saya sebenarnya sudah dengan sengaja (bahkan kadang-kadang dengan agak memaksakan) menaburi di sana sini sedikit “hawa sejuk” yang disebut humor. Tujuannya, tidak lain, adalah sebagai upaya untuk sebisa mungkin mengurangi sedikit dari panasnya itu, supaya jangan terlalu panas (nanti jadi nggak bisa kepegang lagi, akhirnya jadi jatuh ke got. Sayang, kan!). Tetapi, humornya pun, harus saya akui, kurang efektif juga. Hal itu karena humor-humornya itu pun jadi ikut-ikutan panas juga (namanya juga orang yang sedang marah, humornya ya, rada nylekit juga).
Mau merasakan yang lebih “panas” lagi? Lanjutkanlah membaca ke bab 3.