Bagi warga Palestina, dalam memandang satu sama lain, tampaknya yang utama bukan apa agama seseorang, tetapi sejauh mana komitmen orang itu bagi perjuangan bersama demi masa depan Palestina.
Ironisnya, tulis Baskara, justru karena banyak orang Kristen ada di garis depan perjuangan rakyat Palestina itulah Pemerintah Israel sejak 1948 berusaha keras agar orang-orang Kristen ini hengkang dari bumi Palestina dan bermukim di luar negeri saja. Israel sadar, orang-orang Kristen memiliki potensi besar menjadi penghubung perjuangan Palestina dengan dunia luar (ingat, seorang pembela Palestina yang paling konsisten di panggung internasional adalah mendiang Paus Yohanes Paulus II).
Karena itu, diam-diam pemerintah negara itu giat mendorong warga Kristen ini meninggalkan Palestina. Para pemimpin Israel tak keberatan jika dalam serangan kali ini banyak warga Kristen Palestina juga menjadi korban operasi militernya.
Mengingat yang menjadi korban adalah semua pihak, tentu akan aneh bila yang melakukan unjuk rasa mengecam Israel terkait serangan atas Jalur Gaza saat ini hanya warga dari agama tertentu.
Orang Kristen bingung
Sangat mungkin, komunitas Kristen di sini bingung, sebab cerita-cerita dalam Alkitab, kata "Israel" sering disebut. Meskipun bangsa Israel "tegar tengkuk" (sering melanggar perintah Tuhan), para pendeta dalam kotbahnya hampir selalu mengakhiri dengan "happy ending" bahwa bangsa Israel (mengacu kepada Perjanjian Lama) tetap sebagai umat pilihan Allah.
Dalam setiap kotbahnya, para pendeta lebih memilih ayat-ayat Alkitab yang tesktual (historis) daripada kontekstual (folosofis-sosiologis). Fakta ini langsung atau tidak langsung tertanam begitu kuat dalam pikiran bawah sadar orang Kristen bahwa Israel identik dengan Kristen tanpa berusaha memahami dengan kesadaran penuh bahwa orang Israel Yahudi-lah yang sampai sekarang menolak Yesus.
Oleh sebab itu bisa dipahami jika masyarakat Kristen di Indonesia bersikap lebih baik diam daripada melakukan sesuatu tapi bisa ditafsirkan macam-macam. Dalam milis yang saya ikuti, ajakan untuk ikut mengecam Israel pun memunculkan pendapat pro dan kontra.
Guna memberikan pandangan objektif dan positif tentang kasus Israel ini, para anggota milis menyebarkan beberapa artikel. Satu di antaranya adalah artikel yang diambil dari milis Yabina.
Dalam artikel itu ditulis, bagi umat Kristen yang memiliki hubungan batin dengan Israel karena sebagian kitab sucinya sama, memang dapat dimaklumi kalau ada rasa keberpihakan mereka kepada Israel, apa pun yang dilakukan Israel.
Namun peristiwa pengeboman di Gaza bisa menjadi cermin untuk berpikir sejenak, benarkah Israel melakukan kehendak Allah dalam konfliknya di Gaza? Bagaimana sebenarnya sikap otoritas Israel terhadap umat Kristen dan yang percaya Yesus sebagai Messias?
Umat Yahudi sejak lama sering jatuh dalam dosa penyembahan berhala dan ketidaktaatan kepada Allah. Berulangkali Israel dihukum, bahkan dibuang antara lain ke Mesir, berputar-putar selama 40 tahun di padang gurun Sinai, dibuang ke Babel, dan kemudian harus mengalami diaspora, bahkan pada Perang Dunia II mengalami pembantaian etnis (holocaust) di Jerman. Namun umat Israel tidak kunjung bertobat melainkan terus menerus mendukacitakan Allah.
Umat Kristen terjepit
Umat Kristen memang terjepit di antara dua pihak yang berperang. Di satu sisi otoritas Hamas yang membawa-bawa agama Islam juga sering melakukan tindakan tidak bersahabat terhadap umat Kristen, di sisi lain, otoritas Israel yang membawa-bawa agama Yahudi juga sering melakukan tindakan tidak bersahabat terhadap umat Kristen (kecuali terhadap turis Kristen yang mendatangkan devisa).
Kekristenan, menurut artikel itu, tidak bersifat etnis-sentris atau yahudi-sentris yang berorientasi sentripetal (memusat), tetapi kekristenan bersifat Kristosentris yang bersifat sentrifugal (menyebar ke seluruh bumi).
Sehubungan dengan itu umat Kristen perlu merenungkan keperpihakannya kepada Israel selama ini, benarkah ia berpihak kepada kebenaran Allah atau berpihak kepada keangkara-murkaan negara Israel, keberpihakan yang justru makin mengeraskan hati mereka untuk tetap menolak Messias yang telah datang melawat mereka dua ribu tahun yang lalu itu?
Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa kalau dulu Israel dalam holocaust mengalami ethnic cleansing (pembantaian etnis), sebenarnya, sekarang justru Israel-lah yang melakukan ethnic cleansing, yaitu usahanya yang tidak mengenal lelah untuk mengusir orang Palestina dari tanah leluhur mereka. Bukan saja orang Arab Palestina yang beragama Islam yang mengalami hal itu, tetapi umat Arab Palestina yang beragama Kristen juga mengalami penghambatan dari otoritas Israel.
Berkali-kali kelompok radikal Israel dibiarkan mengganggu orang Kristen Arab Palestina, ada yang dikirimi bom, ada yang rumahnya digusur, ada pula yang hak-hak kependudukannya dicabut.
Otoritas Israel sendiri sering menolak orang Arab Palestina beragama Kristen yang sudah keluar dari tanah Israel dan ingin kembali. Hanan Ashrawi, anggota perunding Palestina yang beragama Kristen memiliki putri yang kemudian sekolah di Amerika Serikat, dan ketika si putri menikah dan memiliki anak di sana, dan ingin membawa anaknya menengok neneknya, ia yang adalah penduduk Palestina ditolak kependudukannya dan hanya diberikan visa masuk Israel selama sebulan.
Yang menarik, orang Yahudi sendiri yang beragama Yahudi yang menolak perang dengan Palestina juga sering dilempari batu oleh kaum radikal Israel. Perang Israel Hamas bukanlah perang agama karena sebagian orang Israel sekarang tidak beragama Yahudi melainkan sudah menjadi sekuler. Yang jelas perang di Timur Tengah adalah perang perebutan tanah.
Sadar akan situasi demikian, tulis Baskara di Kompas, seharusnya yang terusik oleh kekejaman Israel bukan hanya warga dari satu agama, tetapi juga dari semua agama, karena semua agama mengajarkan kebajikan dan melawan kejahatan.
Marilah kita terus-menerus berdoa untuk perdamaian di Palestina dan agar Tuhan mendatangkan semangat kasih dan hati yang lemah lembut kepada kedua pihak, baik kepada otoritas Hamas maupun otoritas Israel.***