Berbagai tuntutan dari kalangan Indonesia asli semakin bermunculan agar mereka lebih terwakili. Sampai 1936, komposisi keanggotaan menjadi:
# 8 orang mewakili I.E.V. (Indo Eurupeesch Verbond)
# 5 orang mewakili P.P.B.B.
# 4 orang mewakili P.E.B. (Politiek Economische Bond)
# 4 orang V.C. (Vederlandisch Club)
# 3 orang mewakili Parindra
# 2 orang mewakili C.S.P (Christelijk Staatkundige Partj)
# 2 orang mewakili Chung Hwa Hui (Kelompok Cina)
# 2 orang mewakili IKP (Indisch Katholieke Partj)
# 4 orang mewakili golongan Pasundan, VAIB (vereeniging Ambtenaren Inl. Bestuur), partai Tionghoa Indonesia
# 5 orang mewakili berbagai organisasi yang setiap organisasi mendapat satu kursi yaitu organisasi sebagai berikut: 1 (Persatuan Minahasa); 1 (Persatuan Perhimpunan katoliek di Jawa), 1 (persatuan kaum Kristen), 1 (Perhimpunan Belanda); 1 (Organisasi Wanita I.E.V)
Sidang-sidang Volksraad berlangsung di gedung yang sekarang diberi nama gedung Pancasila, di Jl Pejambon, Jakarta Pusat yang kini menjadi bagian dari gedung Departemen Luar Negeri RI. Gedung ini dibangun 1830. Awalnya merupakan tempat kediaman Komandan Tentara Hindia Belanda. Dia adalah Herzog Bernhard van Sachsen (1792- 1862). Karena itu pada masa kolonial tempat ini bernama Hertogpark (Taman Adipati). Sebelumnya seorang Tionghoa pernah mendirikan pabrik dan penggilingan tebu di tempat ini. Untuk kemudian digantikan dengan tangsi militer.
Dan selama periode 1927 – 1941, Volksraad hanya pernah membuat enam Undang-Undang, dan dari enam UU itu hanya tiga yang diterima pemerintah kolonial Belanda. Sementara sebuah petisi pada masa itu yang sangat terkenal adalah Petisi Soetardjo, yang isinya mengusulkan kemerdekaan bagi Indonesia.
Petisi Soetardjo diajukan oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo pada 15 Juli 1936 kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal atau Parlemen Belanda. Petisi tersebut diajukan karena semakin meningkatnya perasaan tidak puas terhadap pemerintah akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal de Jonge. Petisi ini juga ditandatangani oleh IJ. Kasimo, GSSJ. Ratulangi, Datuk Tumenggung dan Ko Kwat Tiong.
Usulan yang terdapat dalam Petisi Soetardjo tersebut membuahkan reaksi beragam, menurut pers Belanda seperti Preanger Bode, Java Bode, Bataviaasch Nieuwsblad, usulan tentang kemerdekaan Indonesia tersebut sangatlah membahayakan, mereka menyebut petisi tersbut adalah ” permainan yang berbahaya “. Sementara bagi pers Indonesia seperti Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli dan Majalah Soeara Khatoliek, petisi tersebut patut untuk didukung.
Kembali ke Volksraad, pada saat itu selain kewenangan yang nyaris dikebiri akibat hak veto yang dimiliki Gubernur Jenderal, dalam persidanganan-pun semua aspek nyaris semuanya dikuasai oleh pemerintah kolonial, seperti bahasa yang dipakai dalam persidangan harus memakai bahasa Belanda.
Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan.
Referensi :
# www.dpr.go.id/index.php?page=tentang.Sejarah
# www.parlemen.net/site/ldetails.php?docid=dpr
# id.wikipedia.org/wiki/Volksraad