(sambungan dari artikel diatas, saya hanya membantu menyambung)
Wakil Ketua KPK Non-aktif Bibit Samad Rianto bersama Chandra M Hamzah menjadi perhatian jutaan rakyat Indonesia ketika mereka ditahan oleh Bareskrim Mabes Polri. Sebelumnya mereka dijadikan disidik dengan dugaan pelanggaran yang berubah-ubah, dari penyadapan, suap, hingga kewenangan dan pemerasan. Mereka berdua ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Brimob Kelapa Dua Depok, tempat tahanan yang selama ini banyak dihuni oleh tahanan titipan KPK dan para teroris.
Penahanan Bibit dan Chandra di Rutan BKD merupakan pesan psikologis terbalasnya dendam pada pimpinan KPK yang selama ini menangkap dan menahan para tersangka koruptor di Rutan ini. Diantaranya adalah petinggi di Kepolisian dan Kejaksaan. Sebut saja Mantan Jend Polisi (Purn) Rusdihardjo dalam kasus pungli TKI/TKW di Kedubes Malaysia, Jaksa Urip Tri Gunawan dalam kasus penyuapan Artalyta Suryani (SP3 kasus Syamsul Nursalim), serta Aulia Pohan dalam kasus aliran suap Yayasan BI Rp 100 miliar.
Pada tanggal 30 Oktober 2009, Bibit bersama Chandra dipindahkan ke Rutan BKD, dan Bibit meringkuk dalam sel tahanan bekas Jenderal Pol. (Purn) Rusdihardjo dan Mayjen Muchdi PR. Saat ini, Rusdihardjo dan Muchdi sudah menghirup udara segar alias bebas dari penjara.
Bibit Samad Rianto, Kuli Tenun Jadi Polisi
Irjen (Purn) Dr. Bibid Samad Rianto, MM lahir pada 3 November 1945 di Kediri – Jawa Timur. Hidup di keluarga sederhana, Bibit kecil lebih banyak menghabiskan waktu di pasar mendampingin ibunya yang jadi tukang jahit. Lingkungan pasar membuat Bibit kecil sering berkelahi dan menjadi layaknya “preman” pasar.
Perjalanan hidup Wakil Ketua KPK nonaktif Bibit Samad Rianto ini cukup berliku. Berawal dari keluarga yang kurang mampu, Bibit akhirnya menjadi seorang jenderal di kepolisian hingga menjadi pimpinan KPK. Karena kondisi ekonomi, orang tua Bibit hanya mampu membiayai beliau sampai SMP saja. Sehingga untuk melanjutkan pendidikan SMA, Bibit mencari uang sendiri dengan menjadi kuli tenun. Sehabis menyelesaikan pendidikan SMA di tanah kelahirannya, Bibit kemudian memilih untuk bergabung di Akademi Kepolisian (Akpol) dan lulus pada 1970. Alasan utama Bibit memilih Akpol karena bisa menjadi perwira dan penghasilan seorang perwira pada saat itu lumayan cukup. Selain alasan ekonomi tersebut, Bibit bercita-cita menjadi penegak hukum yang baik sesuai dengan fungsinya untuk masyarakat.
Setelah lulus dari Akpol, Bibit langsung mengabdikan dirinya selama 30 tahun di kepolisian. Berbagai posisi teritorial pernah diembannya, di antaranya Kapolres Jakarta Utara, Kapolres Jakarta Pusat, Wakapolda Jawa Timur, dan Kapolda Kalimantan Timur. Bibit pensiun dari kepolisian pada 15 Juli 2000 dengan pangkat terakhir Inspektur Jenderal. Atas jasa dan pengabdiannya selama bertugas, beliau mendapatkan berbagai bintang jasa dan penghargaan. Di antaranya: Satya Lencana Kesetiaan, Satya Lencana Dwidya Sista, Bintang Bhayangkara Nararya, Bintang Yudha Dharma Nararya, Bintang Bhayangkara Pratama.
Bibit merupakan pelaku ‘monogami’ yang hanya memperistrikan Sugiharti, seorang perawat asal Jawa Tengah. Pernikahan Bibit dan Sugiharti membuah 4 buah hati yakni Yudi Prianto, Bayu, Endah Sintalaras, dan Rini Wulandari. Semua anaknya kini sudah berkeluarga. Dua di antaranya meniti karir yang sama dengan bapaknya yakni menjadi polisi. Salah seorang anaknya, AKP Bayu Suseno saat ini menjadi Kapolsek Pagedangan, Tangerang.
Enam tahun menjelang pensiun di kepolisian, Bibit mempersiapkan dirinya alih profesi jadi guru. Keinginan menjadi guru merupakan buah dari pesan almarhumah ibunya agar Bibit menjadi guru. Bibit menamatkan studi hingga S3 dan mendapat gelar Doktor. Pesan ibunya tercapai, Bibit pernah mengajar di Universitas Bina Nusantara selama 4 tahun, jadi rektor Universitas Bhayangkara 3 tahun. Beliau juga pernah mengajar di UNJ (Universitas Negeri Jakarta) dan bekas kampusnya di PTIK.
Bibit Samad Rianto : Kapolda yang “Lulus Godaan” Suap Puluhan Miliaran Rupiah
Meskipun merupakan alumni dari salah satu lembaga yang memiliki tingkat kepercayaan publik yang buruk seperti terkorup di Indonesia tahun 2008, Irjen Polisi (Purn) Bibit Samad Rianto mungkin sekelompok jenderal polisi yang masuk pengecualian publik seperti halnya Irjen Pol (Purn) Herman SS (Eks. Kapolda Jatim) dan Irjen Sutjiptadi (mantan Kapolda Riau). Sejak proses pemilihan pimpinan KPK 2007-2011, sosok dan integritas Bibit Samad Rianto bersama Chandra M Hamzah selalu terbaik, bahkan melewati Antasari Azhar. Hal itu diungkapkan oleh mantan anggota panitia seleksi pimpinan KPK tahun 2007 Mas Ahmad Santosa pada tanggal 16 September 2009. Catatan: Mas Achmad Santosa diangkat menjadi Wakil Ketua Sementara (Plt) KPK pada 6 Oktober 2009.
“Chandra dan Bibit yang paling baik mewakili unsur-unsur mereka, tidak seperti Antasari yang kontroversial…”
Berdasarkan hasil penelusuran tim investigasi pansel saat itu, Bibit adalah perwakilan Kepolisian yang paling bersih. Pengalamannya sebagai anggota Kepolisian ditunjang dengan kemampuan ilmiah sebagai Rektor Universitas Bhayangkara.
“Dia (Bibit) lebih ke dunia ilmiah, ilmu soal investigasi tindak pidana, jadi lebih bersih,” ungkap Mas Achmad Santosa pada 16 September 2009 pada Detiknews
Selama menjadi Kapolda Kalimantan Timur di penghujung tahun 1990-an, Bibit dikenal tegas terhadap kasus illegal logging. Selama itupula ia sering digoda suap menyuap oleh para cukong kayu. Kala itu ia pernah ditawari uang suap puluhan miliar. Tapi tegas-tegas Bibit menolak suap tersebut. Bibit ‘lulus dari godaan’ suap.
Bibit setidaknya berhasil menangani 234 kasus ilegal logging. Bibit mengaku bahwa sebagian besar dari kasus yang ditangani berani menyuap rata-rata Rp 500 juta per kasus. Namun, semua suap ditolak mentah-mentah oleh Bibit, karena bertentangan dengan hukum dan hati nuraninya. Bayangkan, Andai saja ia mau menerima suap setengah kasus yang ia tangani, maka Bibit bisa meraup Rp 58.5 miliar dan menjadi jenderal polisi yang kaya. Namun Bibit lebih memilih hidup sederhana. Bekerja selama hampir 37 tahun (polisi selama 30 tahun + dosen selama 7 tahun), pada 2007 seluruh harta kekayaan (rumah, tanah, kendaraan, tabungan) tidak lebih dari Rp 1,9 miliar. Angka total kekayaan ini tergolong kecil dibanding jenderal polisi lainnya, sehingga Bibit dapat disebut “jenderal kere”
“Dulu ketika menjabat sebagai Kapolda Kalimatan Timur, saya pernah menangani 234 kasus ilegal logging. Saya babat habis. Kemudian ada yang berani ngasih duit Rp 500 juta per kasus. Kalikan saja dengan 234 kan Rp 117 miliar. Yang segitu saja saya tolak, masa sekarang dituduh ngambil Rp 1,5 miliar. Buat apa? ” ungkap Bibit Samad Rianto (Detiknews)
Apabila tawaran suap puluhan miliar ketika menjabat sebagai Kapolda Jatim ia tolak, tentu hal yang janggal jika ia menerima suap Rp 1.5 miliar ketika menjadi Wakil Ketua KPK. Dalam wawancara dengan detiknews, Bibit justru bertanya untuk apa ia menerima suap Rp 1.5 miliar, padahal sebelumnya suap puluhan miliar ia tolak. Hal itu menjawab tuduhan yang dialamatkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri yang melontarkan dugaan pimpinan KPK menerima uang suap sebesar Rp 5,15 miliar dari Ari pada periode 11 Agustus 2008 (di Bellagio Residence, Jakarta), 13 November 2008, dan 13 Februari 2009. Padahal pada tanggal 11-18 Agustus, Bibit Samat Rianto justru berada di Peru.

”Pada 11-18 Agustus 2008 saya di Peru,” ujar Bibit. Ia juga menunjukkan surat jalan, paspor, tiket, dan surat undangan dari Kedutaan Besar Peru kepada wartawan.
”Bellagio Residence saja saya tak tahu, apalagi pernah ke sana. Jika dikatakan ada yang bertemu saya di Hotel Bellagio Residence, itu mungkin setan atau jin yang mirip dengan saya,” kata Bibit. (kompas)
“Kesalahan” Masa Lalu Bibit
Ketika mengikuti seleksi pimpinan KPK, Bibit dinilai memiliki dua kelemahan yang membuat dirinya ‘payah’. Pertama, meski berasal dari kepolisian, selama karirnya di kepolisian Bibit tidak pernah menangani kasus korupsi. Saat menjabat Kapolda Kalimantan Timur, ia hanya menangani kasus pembalakan liar.
Tidak heran, ketika mendapat pertanyaan tentang strategi memberantas korupsi pada uji kelayakan di Komisi III DPR, Bibit malah memaparkan pengalamannya mendamaikan dua kampung yang berseteru saat menjabat Kapolres Jakarta Pusat dan cara menangani banjir. Kelemahannya yang tidak pernah menangani kasus korupsi terbayarkan dari usahanya yang keras dalam menangani kasus pembalakan liar di Kaltim disamping kesederhanaan hidupnya.
Kelemahan kedua yakni ketika menjadi polisi ia mengakui pernah menerima bantuan bahan bangunan dengan alasan bukan dari pihak yang berperkara, sehingga Bibit bisa membangun rumah hanya dengan modal Rp 26 juta. Namun Bibit mengaku sudah ‘bertaubat’ dan hanya menerima bantuan pada saat pembangunan rumah saja. Kejadian itu terjadi ketika ia menjadi Kapolres.
Tapi semenjak Beliau menjadi Kapolda, ia sudah tidak melakukan (menerima) hal itu lagi. Justru, sewaktu bertugas di Kaltim, ada pengusaha yang pengen memberi saham bodong, namun Bibit menolaknya. Begitu juga saat Gubernur Kaltim memberi mobil ke Bibit untuk Kapolda, ketika pensiun, ia tidak membawa mobil tersebut karena ia berprinsip bahwa mobil tersebut untuk Kapolda, bukan untuk Bibit.
