Saya tinggal di sebuah kota kecil dekat Jakarta. Waktu itu tahun 1984
dan saya baru kuliah tingkat I. Hari itu saya kesel berat sama dosen,
yang selain killer juga asli egois. Saya yang sehari-hari terkenal
sebagai mahasiswa yang disenangi oleh para dosen-meskipun bukan
terbaik-, dibikin malu hampir seluruh kampus. Dia bilang bahwa saya
adalah orang yang tidak bisa dipercaya, karena diberi tugas tidak
melapor.
Padahal saya sudah menunggu di depan kantornya lebih dari 2 jam untuk
memberikan laporan, dia malah tidur di ruang dosen! Saya kecewa berat,
lalu pulang ke asrama. Sepanjang siang saya tidak bisa istirahat
memikirkan si killer. Sorenya saya pergi ke kota B untuk cari hiburan.
Saya tidak tahu hiburan apa, yang penting saya berada jauh dari
asrama. Untuk sampai ke kota B orang harus naik ojek, karena angkutan
umum sangat jarang. Jadi saya bisa pastikan teman-teman tidak akan ada
yang mergoki kalau saya lagi senewen begini.
Saya lalu nonton film. Sesuatu yang jarang saya lakukan. Saya tidak
ingat judulnya apa, tapi yang saya ingat film itu agak hot, banyak
adegan ranjangnya. Sambil nonton saya juga beranikan diri minum bir.
Ini pertama kali dalam hidup saya, karena saya tinggal dalam
lingkungan yang ketat. Mungkin karena saya serius nonton film, atau
mungkin juga pengaruh bir, perlahan-lahan beban akibat si killer
hilang juga. Yang tinggal adalah perasaan birahi karena pengaruh film.
Abis nonton, saya terpaku di depan bioskop.
Jam di tangan saya menunjukkan pukul 21.00. Masih sore, saya fikir.
Lagipula saya malas pulang ke kampus, masih kesal dengan suasananya.
Tapi mau kemana? Akhirnya saya mengayunkan langkah juga ke arah
stasiun kereta api, dekat jalan tempat para ojek menunggu. Sampai di
sana suasananya sepi. Saya duduk di bangku panjang tempat para
penumpang menunggu kereta api. Saya menyalakan rokok. Menghisapnya
dalam-dalam.
"Sendirian aja mas?" tiba-tiba ada suara menyapa. Saya terkejut dari
lamunan dan menoleh ke kiri. Seorang gadis cantik, sekitar 10 tahun
lebih tua dari saya, berpakaian seronok berdiri memandang saya dengan
senyum menggoda. Di tangan kirinya memegang sebatang rokok. Wah, ini
pasti WTS fikirku. Saya memang sering dengar bahwa di dekat stasiun
ini banyak WTS berkeliaran. Tempat operasi mereka biasanya di gerbong
kereta barang yang lagi langsir.
"Oh.. eh.. ya.." jawab saya gugup sambil menengok ke arah gerbong
kereta yang di parkir di samping stasiun. Agak gelap dan banyak
bayangan berkelebat di sana. Sesekali terdengar suara perempuan
cekikikan.
"Boleh saya temani..?" tanyanya.
"Silakan... silakan.." kata saya sambil menggeser tempat duduk. Saya
jadi deg-degan. Meskipun saya terhitung tidak canggung sama teman-
teman cewek, tapi untuk seseorang yang lebih agresif kayak gini saya
jadi panas dingin rasanya.
"Pulangnya kemana?" tanyanya sambil meletakkan pantatnya yang kencang
dan hanya ditutup oleh rok hitam pendek. Pahanya langsung terlihat
ketika ia menyilangkan kakinya. Mulus dan bersih. Wangi parfum murah
menusuk hidung saya.
"Ee.. ke kampus." jawab saya polos. Saya lihat bibirnya yang
berlipstik tebal tersenyum nakal menghembuskan asap rokok ke arah
saya. Gila, berani betul ini cewek. Matanya memperhatikan saya dari
atas ke bawah. Rambutnya panjang sebahu dan ujungnya menutupi
ketiaknya yang tidak tertutup baju. Ia memakai baju hitam tak
berlengan dengan belahan sangat rendah. Terlihat belahan putih dadanya
yang menyembul dibalik bajunya.
"Ooo.. mahasiswa yaa?" tanyanya cuek. "Payah.."
"Kenapa?" saya balik bertanya.
"Duitnya tipis" jawabnya sambil ketawa.
"Tapi 'kan otaknya encer" kilah saya nggak mau kalah.
"Percuma. Lagian nggak tahan lama" katanya sambil membuang puntung
rokok ke arah rel kereta api.
"Apanya?"
"Goyangnya" jawabnya sambil memencet hidung saya. Gila. Pikiran saya
ternyata benar. Dia termasuk salah satu "penghuni" gerbong nganggur
itu. "Emangnya kenapa?" saya jadi tertarik untuk menggoda.
"Ya nggak enak donk. Udah dibayar murah, nggak puas lagi" Saya hampir
kehabisan jawaban. Terus terang saya nggak pengalaman dalam soal
beginian. Saya beranikan diri mengusap tangan kirinya yang putih
mulus. Ia cuek saja. Benda dibalik celana saya kontan bergerak naik.
"Kan bisa belajar....biar bisa lebih lama" kata saya. Ketemu juga.
"Enak saja.. emangnya kuliah" katanya. Bibirnya mencibir manja. Lalu
ia menepis tengan kanan saya yang asik mengelus tangan kirinya.
"Kan bisa jadi langganan" kata saya sambil pindah mengelus bahunya.
"Biasanya berapa satu rit?" Benda saya makin tegang.
"Tergantung. Kalau biasa-biasa aja sih cuma dua puluh ribu" Ia menepis
tangan saya dari bahunya.