KAMIS, 1 Oktober 2009, negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini kembali disuguhi oleh salah satu peristiwa cukup besar sekaligus mewah: Pelantikan Anggota DPR Terpilih Periode 2009-2014. Pelantikan yang dikawal tidak kurang oleh 3000-an pasukan keamanan ini dikatakan peristiwa besar karena para anggota DPR baru tersebut selama lima tahun ke depan akan turut ‘menentukan nasib’ jutaan rakyat negeri ini. Pasalnya, sebagaimana sebelumnya, melalui tangan para anggota DPR-lah sejumlah produk UU yang mengatur seluruh kehidupan rakyat bakal lahir. Pelantikan ini juga sekaligus mewah karena menelan biaya sekitar Rp 11 miliar hanya untuk acara sekitar dua jam saja. Jumlah sebesar itu baru anggaran dari KPU. Padahal, sebagaimana lima tahun sebelumnya, acara pelantikan tersebut lebih bersifat seremonial belaka. Adapun dari DPR sendiri, Setjen DPR telah menganggarkan Rp 26 miliar atau sekitar Rp 46,5 juta peranggota untuk biaya pindah tugas (tiket keluarga anggota Dewan dan biaya pengepakan) bagi anggota baru terpilih dari luar Jakarta. Hal itu didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 7/KMK.02/2003 (Kompas.com, 9/9/2009).
Berharap pada DPR Baru?
Sekitar 70% anggota DPR Periode 2009-2014 memang benar-benar baru. Namun, sesuai dengan hasil Pemilu 2009 lalu, keanggotaan DPR baru itu tetap didominasi oleh partai-partai lama yang notabene sekular. Berdasarkan validasi terakhir KPU, perolehan kursi tiap parpol di DPR adalah: Partai Demokrat 150, Partai Golkar 107, PDIP 95, PKS 57, PAN 43, PPP 37, PKB 27, Gerindra 26, Hanura 18 (Mediacenter.kpu.go.id, 14/5/2009).
Dengan keanggotaan yang mayoritas berasal dari parpol-parpol sekular, kaum Muslim yang mayoritas di negeri ini tentu tidak banyak berharap bahwa DPR baru ini akan berpihak kepada mereka. Pasalnya, meski banyak anggota baru, visi dan misi mereka tetaplah sama dengan partainya, yakni sekular. Karena itu, jangan berharap, misalnya, DPR baru akan banyak menerbitkan UU yang sesuai dengan syariah, meloloskan peraturan yang melarang aliran-aliran sesat seperti Ahmadiyah, dll. Yang terjadi, mereka akan banyak memproduksi UU sekular yang notabene bertentangan dengan syariah.
Selain itu, secara umum rakyat pun pantas untuk pesimis. Pasalnya, kualitas anggota DPR yang baru diperkirakan menurun. Ini karena pada Pemilu Legislatif lalu, dengan mekanisme suara terbanyak, banyak anggota DPR terpilih lebih karena faktor popularitas semata. Wajar jika kalangan artis/selebritis, misalnya, bisa dengan mudah mengalahkan caleg dari kalangan politisi kawakan yang tentu saja kalah populer.
Untuk menilai kualitas para anggota DPR baru, kinerja para anggota DPR lama bisa dijadikan acuan. Sebagai perbandingan, Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menilai kinerja Legislatif periode 2004-2009 masih buruk. Hal ini terlihat antara lain dari efektivitas pembuatan undang-undang serta komitmen untuk pemberantasan korupsi. “Kami menilai rapor DPR dengan nilai D, yang artinya masih buruk,” kata peneliti dari Pukat Korupsi Hifdzil Alim di Yogyakarta, Selasa (30/6).
Menurut dia, beberapa UU yang dihasilkan DPR juga memiliki substansi buruk, misalnya UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No.4 Tahun 2009) karena memberlakukan kontrak karya hingga berakhir dan UU Badan Hukum Pendidikan (UU No.9 Tahun 2009) karena memasukkan konsep perusahaan ke dalam konsep penyelenggaraan pendidikan.
Di sisi lain, Direktur Pukat Korupsi Zainal Arifin Mochtar menyatakan bahwa lembaga legislatif telah mati rasa. “Banyak UU yang ditolak oleh masyarakat, tetapi tetap diteruskan oleh DPR. Ini aneh, karena seharusnya dewan adalah wakil dari rakyat,” katanya (Matanews, 30/6/2009).
Dengan kualitas DPR yang buruk tersebut, wajar jika sejumlah survei menunjukkan tingginya kekecewaan masyarakat terhadap lembaga ini. Tingginya kekecewaan ini sangat beralasan. Pasalnya, banyak produk UU yang dihasilkan DPR tidak memihak rakyat yang berada di tengah himpitan dan beban hidup yang semakin sulit dan berkepanjangan. Perundang-undangan tersebut di antaranya UU Migas, UU Penanaman Modal, UU SDA, UU BHP, UU Minerba, dll. yang akan menimbulkan kehancuran perekonomian nasional dan lingkungan serta meningkatkan kemiskinan, pengangguran, kebodohan, kelaparan rakyat di negeri yang kaya ini.