Setidak-tidaknya demikian bunyi papan larangan yang banyak ditemui di kawasan sepanjang Orchard Road.
Melihat sosok larangan yang hanya dicetak diatas selembar kertas dan ditempelkan di dinding, mestinya aturan ini baru saja dieksekusi. Singapura adalah tetangga yang paling mengambil keuntungan akan tamu "evakuasi" dari Indonesia manakala ada issue akan ada kerusuhan rasial atau kerusuhan agama. Para pencoleng kelas kerah putih dari negeri kita - dengan nyaman bersembunyi dan dilindung macam seekor Harimau Putih disini. Cukup dengan alasan yang klasik, sakit, lalu bablas ghoib.
Sudah bukan rahasia bahwa saat hari libur besar seperti Sabtu dan Minggu kawasan Orchard Road selalu dipenuhi para mbak-mbak dan mas-mas kita. Mereka yang selama hari kerja berbicara dalam bahasa Inggris, Mandarin, Jepang; lantas di Sabtu dan Minggu kepingin bebas sejenak, bertemu teman sekampung, ber-casciscus dalam bahasa daerah. Tempat rendevouz yang dipilih adalah di kawasan Orchard Road.
Memandang mereka berpakaian ketat keluaran Giordano, Mark Spencer, tank top bak Maria Ozawa, celana panjang Levis - tas Charles and Keith, Braun Buffel, HP Nokia sampai BlackBerry model terbaru, laptop, kacamata Oakley berlabel "original" memang membuat saya mendecak kagum.
Kadang sulit mengenalinya kalau telinga tidak mendengarkan mereka berhahahihi di celuler yang mengeluarkan belalai tipis masuk di kedua telinga mereka.
Mula-mula mereka hanya duduk-duduk sekedar bertukar SMS, MMS - menanyakan keadaan di kampung masing-masing. Dasarnya kita suka bergerombol macam sekumpulan ikan Bilis, maka lambat laut komunitas ini makin melebar sehingga ruang bagi pejalan kaki mulai terdesak.
Kalau di tanah air, membangun lapak-lapak kali lima sampai ke tengah jalanpun dianggap suatu kewajaran sampai mirip kewajiban.
Namun para pengguna jalan di Singapura mulai gerah dan "ngeri" kalau menerobos kawasan yang sudah mulai dikuasai sehari oleh para mbak kita dari Indonesia, Filipina atau India. Koran setempat mulai memuat keluhan para pembacanya.
Apalagi beberapa mbak mulai membawa sendiri dingklik (bangku) dari rumah. Mulai membawa tradisi asal sono yaitu kalau kumpul harus wajib arisan (lagu wajib kita kalau kumpul), menggelar dagangan sampai membuka usaha pijat, kerokan, cari uban termasuk kutu, sampai ke perawatan kaki dan tangan berupa manicure dan pedicure. Jelas aktivitas yang tidak sekedar berkumpul sejam dua jam lalu berpisah. Kadang mereka datang pagi-pagi sekali dan pulang petang-petang sekali.
Akhirnya pemerintah Singapura menetapkan larangan untuk duduk-duduk dan piknik di emperan toko di kawasan Orchard Road. Sekarang para mbak kita berkumpul di rumputan taman, atau masih di kawasan emper toko yang belum komplain.
Kapan ya ada larangan "No Pencoleng dari Indonesia stay and hidden here..."
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=15366