Interesting story about Army Operation crushing GAM Guerillas in Aceh.Taken From Indonesian Newspaper.
.....Menjelang akhir September 2002, saat batas waktu saya ikut dengan pasukan teritorial habis. Rokhim menyemangati saya untuk ikut dengan pasukan gerak.
"Cerita sebenarnya ada di front," katanya, "Ini sudah masuk musim hujan. Wah pasti mantap masuk hutan. Saya doakan situ diguyur hujan malam-malam. Tidak usah takut. Nanti lihat bagaimana caranya tentara tidur saat hujan. Nanti badannya pasti kekar. Sehat. Nanti kita cari sepatu boot. Itu enak dipake masuk rawa." .....
.....Awalnya, saat berkenalan, seorang serdadu Kostrad dari Batalyon 433 seperti menyesalkan kenapa saya tak datang meliput pasukan lebih awal.
"Dulu waktu di Bukit Tengkorak .... oh mak ....," prajurit itu tak menyelesaikan kalimatnya. Dia hanya memeragakan memiting leher dengan tangan kanan seolah sedang menggorok leher seseorang.
"Sayang Abang terlambat. Sekarang ini sudah sepi," sambungnya.....
....TENTARA punya istilah khas berburu GAM di hutan-hutan Aceh: masuk kolam mencari ikan. Sekiranya diizinkan ikut, saya diminta menyiapkan perlengkapan standar masuk kolam seperti matras, ransel serbu, shebo, kaos tangan. Paling tidak, saya harus berbaju dan bercelana gelap.
Tapi dari semua itu, demi keselamatan, saya disarankan meminjam rompi antipeluru. Tentara biasanya punya cadangan. Memakainya akan membuat orang merasa aman. Ini juga bagus dipakai supaya kita tak terlihat seperti bondo nekat masuk hutan.
Ada dua lempengan baja di rompi itu. Satu letaknya di depan dada dan satu di punggung. Masing-masing beratnya 10 kilogram. Saya selalu mencopot lempengan baja di punggung. Terlalu berat. Kalau matahari menyengat, lempengan-lepengan itu akan berubah seperti setrika. Saat hujan, ia berubah seperti balok-balok es. Dingin, menusuk tulang. Banyak serdadu yang juga mencopot pelat baja belakang. Beban mereka sudah berat. Jika masuk kolam selama 15 hari, di punggung mereka menggantung ransel 25 kilogram-untuk mudahnya, bayangkan Anda menggendong segalon air selama dua minggu. Itu ditambah SS-1 yang beratnya sekitar lima kilogram. Yang membawa Minimi lebih siksa lagi. Senapan otomatis itu beratnya sampai 15 kilogram.......
....DI ACEH, tugas utama mencari ikan di kolam-kolam tanggung jawab Pasukan Pemburu Rajawali. Ini tentara terlatih dengan kualitas fisik prima, yang memang dilatih khusus untuk mengejar GAM. Mereka didoktrin untuk rajin jalan, waspada, dan jeli....
....Jika Basis Operasi Depan (BOD) pindah, Anda sukar menemukan jejak Rajawali. Semua sampah ditanam. Bekas galiannya ditutupi dedaunan sehingga tanah seolah tak pernah diinjak lars.
Kalau di tengah hutan Aceh Anda mendengar SS-1 menyalak dua-dua kali, itu tembakan khas Rajawali. Kalau ada "Purpa" (Pertempuran Perjumpaan), setiap serdadu akan mengejar sasaran seperti orang kesetanan.
"Ciiiiihuuuyyyy!"
"Ciiiiihuuuyyyy!"
"Ciiiiihuuuyyyy!"
"Ciiiiihuuuyyyy!"
"Ciiiiihuuuyyyy!"
"Ciiiiihuuuyyyy...!"
Sambil berteriak, mereka berlari zig zag, mendekati sasaran. Tapi larinya hanya sebentar-sebentar. Tiga detik tiga detik. Mereka mengantisipasi musuh yang bisa membidik sasaran hanya dalam tempo tiga detik.
Sekali masuk kolam, Rajawali kadang tahan sampai 15 hari. Selama itu mereka diharamkan jalan di jalan setapak apalagi beraspal....
....Rajawali bukan barang asing bagi seisi hutan. Kalau lagi mengendap, burung pun kadang lupa kalau yang dihinggapinya itu punggung manusia. Rajawali dikenal dengan kesabaran dan keuletannya. Mau panas mau hujan, mereka akan tetap di tempat pengendapannya sampai ada perintah pemindahan BOD.
"Hujan kawan. Panas kawan," kata seorang serdadu menirukan doktrin prajurit infanteri....
..."Sekolahkan saja. Siapa yang mau?" komandan peleton itu menawari anak buahnya. Dia yakin ketiga orang itu GAM. Di kantong plastik tadi anak buahnya menemukan sebuah pistol rakitan.
Dari belakang, seorang serdadu muda bergegas. "Danru .... Danru .... biar saya."
Tawanan itu diminta berjongkok. Sebutir peluru menembus kepalanya, "Crook .... crookk." Darah muncrat dari kepala. Mengira masih hidup, serdadu muda itu mengarahkan larasnya ke punggung korban. "Tak-tak-tak." Tiga peluru 5,56 milimeter bersarang.
Setelahnya, komandan regu minta serdadu muda itu untuk mencicipi darah orang yang ditembaknya. Ada kepercayaan di kalangan tentara bahwa mencicipi darah orang yang telah dibunuh akan menghilangkan bayang-bayang wajah korban yang bakal menghantui.
Saat pulang ke pos, serdadu muda itu mengeluh ke komandan regunya.
"Danru, perut saya mual."
"Kau minum apa tadi?"
"Darah itu," katanya seraya menunjukkan ukuran darah yang diminumnya: dua genggaman tangan!
...
"Disekolahkan" adalah bahasa slang tentara Indonesia untuk eksekusi mati bagi anggota GAM yang tertangkap. Pasukan Brigade Mobil (Brimob) menggunakan istilah "kosong-satu" untuk hal yang sama.
Sepenggal Kisah Perebutan Jembatan
JANGAN membayangkan operasi pemulihan keamanan di Aceh seperti perang antara Amerika Serikat dan Irak yang merupakan perang konvensional. Operasi di Aceh ini adalah pertempuran melawan gerilya yang sporadis, yang tidak terduga kapan terjadinya. Biasanya pertempuran berlangsung jika pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) memukul pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau dihadang oleh gerilyawan GAM dalam suatu patroli.
Salah satu kisah pertempuran yang cukup berkesan di hati prajurit TNI adalah perebutan sebuah jembatan yang melintasi Krueng (Sungai) Tingkeum di Desa Darul Aman, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, sekitar 50 kilometer ke arah barat Kota Lhok Seumawe, Rabu (21/5). Daerah tersebut dikenal sebagai basis pertahanan GAM. Wilayah itu menjadi tanggung jawab Detasemen Pemukul (Denkul) 1 Batalyon 712/Wiratama Manado, Sulawesi Utara, pimpinan Letkol Hipdizar.
Namun, sayangnya wartawan tidak berkesempatan meliput langsung jalannya pertempuran tersebut. Meskipun demikian, perebutan jembatan itu terus menjadi bahan cerita para prajurit selama dua hari wartawan berada di Markas Denkul 1 di Desa Matanggeulumpang, Peusangan.
"Coba kalau wartawan datang kemarin, bisa langsung melihat langsung. Itu pertempuran terbesar sejak kami enam bulan bertugas di sini," tutur Hipdizar hari Kamis lalu.
JEMBATAN di Desa Darul Aman itu panjangnya sekitar 500 meter dan berkonstruksi baja. Jembatan itu sangat strategis untuk menuju ke pedalaman Bireuen termasuk ke Desa Pante Raya yang merupakan basis GAM. Di tempat tersebut pernah dirayakan milad ke-26 GAM pada 22 Desember 2002. Oleh karena itu, perebutan jembatan menjadi penting bagi TNI untuk dapat menembus pertahanan GAM.
Jembatan tersebut sudah sejak beberapa hari sebelumnya diincar TNI untuk direbut. Namun, tampaknya GAM juga mati-matian mempertahankan jembatannya. Sejumlah bom rakitan diletakkan di sekitar penyambung wilayah itu. Selain itu, sejumlah pohon kelapa pun dirobohkan guna menghalangi orang yang menuju jembatan tersebut. Sekitar 100 meter ke arah selatan jembatan, jalan telah digali selebar tiga meter dengan dalam sekitar dua meter.
Untuk menembus jembatan itu sempat terpikir untuk menggunakan bantuan helikopter karena begitu gencarnya tembakan dari arah seberang. Namun, Denkul 1 tetap berusaha menggunakan kekuatan yang ada. Salah satu yang membuat mereka berhasil menembus jembatan itu adalah penggunaan dua truk Reo yang dilapisi baja antipeluru.
"Truk Reo ini sudah dikenal ditakuti oleh GAM," ujar Prajurit Kepala Ong Lee, pengemudi salah satu truk Reo, membanggakan truk yang dikemudikannya. Itu diketahuinya dari pembicaraan radio panggil handie talkie (HT) GAM yang frekuensinya ditangkap oleh Denkul 1, di mana GAM membatalkan penghadangan jika truk Reo ini lewat di basis GAM.
Warna kedua truk milik Komando Daerah Militer (Kodam) VII/Wirabuana, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) ini juga lain dari mobil/truk standar TNI yang biasanya hijau polos. Warna dua truk Reo ini loreng hijau, putih, hitam.
Sambil melaju kencang di jembatan, tembakan melalui senapan mesin SMR yang dioperasikan Kopral Dua (Kopda) S Mongkow dan Kopda ABD Haris terus diarahkan ke arah depan. "Selain tembakan, granat-granat yang dilontarkan dengan granate launching machine (GLM) meledak di kiri kanan truk. Tetapi saya terus melaju ke depan," ujar Ong Lee.
Tidak mudah untuk menembus pertahanan GAM itu. "Apalagi SMR saya sempat macet tiga kali. Buat tentara, hal yang paling mengkhawatirkan adalah jika senjata macet. Namun, teman saya membantu dengan tembakan senapan mesin minimi, sambil saya memperbaiki SMR," kata Mongkow. Maklum SMR tersebut sudah berumur 29 tahun, sedangkan gerilyawan GAM umumnya menggunakan AK47 versi baru. Pukul 11.00, akhirnya jembatan itu dapat dikuasai dan TNI membuat pos di rumah-rumah kosong dan sekolah yang dibakar.
Tingkat kesulitan perang gerilya memang lebih tinggi dibanding perang konvensional. Dalam konteks ini, berbaurnya GAM dengan masyarakat adalah kesulitan yang mesti dipecahkan. Apalagi di wilayah Denkul 1 itu GAM telah menarik Kartu Tanda Penduduk (KTP) masyarakat sehingga antara GAM dan masyarakat sulit diidentifikasi.
Intel GAM yang dikenal sebagai cantoi yang berada di mana-mana-termasuk duduk-duduk di kedai sekitar pos TNI-juga menyulitkan TNI. "Baru kami mengikat tali sepatu, mereka sudah tahu kami akan jalan dan menyebarkan rencana itu melalui HT. Malah kadang orang yang mentraktir di kedai bertemu di lapangan ketika bertempur," ujar seorang prajurit.
Belum lagi persoalan bahasa karena umumnya masyarakat berkomunikasi dengan bahasa Aceh. "Kami sudah biasa kalau bertanya ke masyarakat yang dijawab dengan hana teupu (tidak tahu)," ujar Perwira Seksi Operasi Denkul 1 Lettu Wiryanto. Istilah hana teupu itu sudah menjadi istilah yang populer di kalangan prajurit.
Lain halnya pertempuran di Desa Lancuk, Kecamatan Jeumpa, Bireuen, TNI/Polri memang mampu masuk ke wilayah basis-basis GAM, tetapi agak kesulitan untuk menembaki anggota GAM. Hal yang sama terlihat di Desa Teupin Jalo, Kecamatan Samalanga. Masalahnya, anggota GAM yang bertempur tidak begitu melayani ketika TNI/Polri melepaskan tembakan. Kalaupun GAM melayani serangan TNI/Polri, sifatnya hanya kalau mereka terdesak untuk membela diri dan sekaligus melarikan diri. Bahkan, anggota GAM sendiri sudah menggabungkan dirinya dengan warga setempat tanpa menggunakan atribut seragam militernya.
Tidak jarang keluar dari mulut personel pasukan TNI/Polri bahwa GAM pengecut karena tidak berani bertempur secara kesatria menunjukkan jati dirinya. Ketika terjadi pertempuran, biasanya GAM hanya mau melayani sekali-sekali saja. Kalaupun ada serangan balik dari GAM, sifatnya hanya sebagai serangan psikis. Seolah-olah GAM masih kuat dan berani bertempur.
Padahal setiap kali TNI/Polri merangsek ke basis-basis pertahanan GAM, tak ada perlawanan yang berarti. Anggota GAM terlihat justru mundur dan melarikan diri.