Tak Memandang Muka
Yesus paham setiap orang berbeda. Namun, Guru dari Nazaret ini tidak menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk membedakan. Ketika melangkahkan kaki-Nya ke Tirus, Yesus menganggap orang Tirus sama berharganya dengan orang Yahudi. Bahkan di antara orang non-Yahudi pun, sikap dan tindakan Yesus sama.
Bukan kebetulan, jika penulis Injil Markus menempatkan kisah penyembuhan seorang bisu-tuli setelah penyembuhan anak perempuan dari seorang ibu Yunani keturunan Siro-Fenesia.
Kisah pertama penuh dialog—bahkan terasa kasar. Ibu yang ingin anak perempuannya sembuh rela mengibaratkan dirinya sebagai anjing! Itu bukanlah sekadar kerendahan hati. Juga bukan trik yang akan membuat Yesus iba. Sesungguhnya, pengibaratan itu merupakan ungkapan iman.
Perempuan Siro-Fenesia itu menyadari, berkait dengan penyelamatan Allah, manusia secara asasi bergantung penuh kepada Allah. Allahlah yang berdaulat.
Ibu itu tak mempersoalkan mengapa Allah memilih Israel. Pemilihan itu memang bukan soal adil atau tidak adil, namun soal kedaulatan. Dia menerima kedaulatan Allah tanpa syarat. Ibu itu agaknya juga menyadari, Allah memilih Israel untuk menjadi berkat bagi bangsa lain.
Perempuan Siro-Fenesia itu percaya bahwa kasih Tuhan tak hanya buat Israel. Israel hanya alat. Tak heran, dia berani mendebat Sang Guru dari Nazaret yang sedang naik daun itu.
Pengibaratan sebagai anjing, malah menjadi jalan masuk bagi perempuan itu untuk memohon anugerah Allah. Dia tak merasa perlu mendapatkan roti utuh. Remah-remah pun cukup baginya.
Tampaknya dia paham, baik remah maupun utuh, toh namanya tetap roti. Dengan kata lain, yang penting bukan besar atau kecilnya anugerah, tetapi anugerah Allah itu sendiri. Yesus, yang mengagumi imannya, menyembuhkan anaknya.
Kisah kedua tiada dialog. Tak ada permintaan dari si sakit karena dia penderita bisu-tuli. Dia pun tak datang sendirian sebagaimana perempuan Siro-Fenesia itu. Orang-orang prihatinlah yang membawanya kepada Yesus. Yesus agaknya terkesan dengan keprihatinan mereka.
Bisa jadi, Yesus juga melihat hasrat dalam diri si penderita. Memang tanpa kata. Namun, sorot mata dapat menyiratkan keinginan terdalam manusia. Yesus juga menyembuhkannya.
Kedua kisah penyembuhan tersebut memperlihatkan bahwa Yesus tidak membedakan orang. Dia mengasihi orang yang berani berargumentasi dengan-Nya, tetapi juga mengasihi orang yang tak mungkin mengucapkan keinginannya karena bisu. Yesus merasa kagum dengan iman perempuan itu, tetapi Dia juga tidak mengabaikan keberadaan si bisu-tuli.
Sang Guru dari Nazaret tidak memandang muka. Semua orang berharga di mata-Nya. Kasih-Nya bagi semua.
Iman tanpa perbuatan mati. Dan Perbuatan itu, sebagai pengikut Kristus, harus dilakukan tanpa memandang muka.
Demikiankah kita?
Penulis adalah pendeta Gereja Kristen Jawa Jakarta.