Arief B.Iskandar
Editor dan Penulis Buku-Buku Islam
Umat Islam sudah sebulan lebih disuguhi pemberitaan seputar terorisme. Sebagian merasa jenuh. Sebagian lagi memandang media sudah kelewat batas dalam penyajian berita. Aparat juga cenderung membabi-buta dalam menyasar obyek-obyek yang diduga terkait dengan terorisme ini, misalnya melakukan pengawasan terhadap agenda-agenda dakwah, bahkan menyisir ke sejumlah pesantren yang dianggap potensial melahirkan pikiran-pikiran radikal.
Efek Media dan Tindakan Aparat
Perlu disadari, media punya kemampuan melakukan penyesatan opini, termasuk dalam isu terorisme. Celakanya, dalam isu terorisme ini, media cenderung terus-menerus mengaitkannya Islam dan kaum Muslim. Hal ini ditambah dengan tindakan aparat di lapangan yang cenderung berlebihan dalam menyikapi isu terorisme. Semua ini pada akhirnya melahirkan efek-efek negatif dalam kehidupan masyarakat, khususnya kaum Muslim.
Pertama: melahirkan sikap saling curiga di tengah-tengah umat, bahkan bisa memunculkan sikap saling memfitnah. Sikap ini jelas-jelas sangat tidak terpuji dan diharamkan oleh Islam. Kedua, melahirkan tindakan melawan hukum (main hakim sendiri) terhadap pihak lain hanya karena curiga atau rasa khawatir yang berlebihan. Ketiga, melahirkan rasa takut di kalangan umat Islam terhadap agamanya sendiri.
Cap “radikal”, “fundamentalis”, “ekstremis” dll seolah menjadi virus yang mematikan dan harus dihindari oleh kaum Muslim. Akibatnya, sadar atau tidak, kepribadian umat bergeser menjadi kepribadian yang tidak lagi berpegang teguh pada Islam, karena khawatir mendapatkan label-label negatif tersebut. Dalam jangka panjang, kepribadian umat yang cenderung tidak mau terlalu terikat dengan Islam ini akan melahirkan potret umat Islam yang suram karena makin jauh dari Islam.
Politik “Belah Bambu”
Di balik isu terorisme yang cenderung terus-menerus dimunculkan sebetulnya ada propaganda untuk menguatkan satu arus pemikiran dan sikap tertentu, yakni yang selama ini diklaim oleh sejumlah kalangan sebagai “Islam moderat”, seraya terus-menerus mengucilkan kelompok-kelompok lain yang dituduh “Islam radikal”.
Padahal semua istilah tersebut tidak dikenal dalam Islam. Baik istilah “Islam moderat” atau “Islam radikal” hanyalah ciptaan Barat penjajah demi kepentingan mereka: memecah-belah kaum Muslim. “Islam moderat” tidak lain adalah Islam yang bisa menerima semua unsur peradaban Barat seperti demokrasi, HAM, pluralisme, kebebasan, sekularisme dll. “Islam moderat” inilah yang dikehendaki Barat. Sebaliknya, Islam yang anti peradaban Barat akan langsung mereka cap sebagai “Islam radikal”.
Tidak aneh jika Barat, juga menuduh kelompok-kelompok yang memperjuangkan Islam kâffah melalui penerapan syariah Islam secara total melalui institusi Khilafah sebagai kelompok “Islam radikal”. Inilah yang terbaca dari ungkapan sejumlah pejabat/mantan pejabat di negara-negara Barat sendiri, seperti pernah diucapkan mantan Menhan AS Donald Rumsfeld (Washingtonpost.com, 5/2/2005).
Lebih dari sekadar “strategi lunak” dengan menggunakan pelabelan seperti di atas, “strategi kasar” juga dimainkan, misalnya dalam bentuk teror dan intimidasi terhadap para pengemban dakwah Islam, juga pengawasan terhadap pesantren.
Lebih jauh, langkah-langkah lain juga mungkin dilakukan, misalnya memberangus media yang menyuarakan Islam dengan lantang. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari konspirasi untuk membungkam situs ar-rahmah.com. Lebih dari itu, mencuatnya kasus “Bom Marriott II juga kemudian dijadikan alasan untuk bersikap represif atas nama UU Keamanan Negara, UU Anti Terorisme, dll.