Pers Mengejar Rating, Kaum Muslim Pun Tersakiti
Inilah kondisi yang paradoks. Lain di Indonesia, lain pula di Filipina dalam mengambil kebijakan pemberitaan terorisme di media massa.
Awal Februari 2002 berbagai stasiun televisi Filipina menayangkan gambar pemenggalan kepala seorang tentara Filipina oleh anggota kelompok Abu Sayyaf. Tentara itu dipenggal kepalanya di sekitar orang yang tengah shalat. Gambar mengerikan itu menjadi berita hangat, sekaligus menimbulkan protes para orang tua yang khawatir pengaruh gambar itu pada anak-anak.
Presiden Gloria Macapagal Arroyo menggunakan tayangan tersebut untuk menunjukkan kepada publik agar melihat keadaan sebenarnya. “Saya ingin publik melihat wajah dari penjahat ini sebenarnya,” katanya.
Abu Sayyaf adalah kelompok kecil dari gerakan separatis Islam di Filipina selatan yang berbasis di Pulau Basilan. Abu Sayyaf dipimpin Abdurajak Janjalani. Amerika Serikat menuding Abu Sayyaf punya hubungan dengan jaringan Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.
Abu Sayyaf juga disebut-sebut menyandera dua misionaris berkebangsaan Amerika Serikat dan seorang juru rawat Filipina di hutan Basilan. Untuk itu Amerika Serikat menjanjikan bantuan hampir US$ 100 juta untuk memerangi Abu Sayyaf.
Evelyn O Katigbak dari Center for Media Freedom and Responsibility di Manila menilai, tayangan tadi ditujukan untuk menarik simpati publik dan dukungan tindakan militer. Sejak penyanderaan yang dilakukan Abu Sayyaf di Balikatan, dan rencana Amerika Serikat menerjunkan pasukan membantu Filipina memerangi Abu Sayyaf, politik Filipina memang hangat. Khalayak terbelah antara yang setuju dengan yang tidak setuju dengan kehadiran pasukan asing di sana.
Tayangan itu sendiri menimbulkan efek buruk, terutama terhadap citra Islam. “Pemenggalan kepala, orang yang shalat, bisa menimbulkan efek yang buruk,” kata Evelyn Katigbak. “Meskipun footage itu tidak dimaksudkan secara sengaja menghina Islam, publik bukan hanya membenci tindakan Abu Sayyaf, tapi juga bisa membenci orang Islam keseluruhan.”
Ia memandang, tayangan pemenggalan kepala juga menimbulkan asosiasi negatif terhadap Islam yang dianggap kejam. “Dalam masyarakat di mana penduduk Islam jumlahnya minoritas, pemberitaan soal terorisme demikian bisa menimbulkan kesalahpahaman. Media justru menghadirkan citra yang salah dan menyesatkan tentang satu agama dan ras tertentu.”
Seringkali penyosokan dan stereotip oleh pers menganggap komunitas sebagai satu kesatuan. Seperti orang Afghanistan yang digambarkan sebagai orang yang radikal dan menghalalkan segala cara. Padahal, tak semua orang Islam seperti yang digambarkan. Celakanya, stereotip ini seringkali diikuti oleh pemberian label negatif.
Melinda Quintos de Jesus, juga dari Center for Media Freedom and Responsibility, memberikan contoh pemakaian negative profiling dalam pemberitaan media di Filipina terhadap gerakan Abu Sayyaf. Banyak kepala berita surat kabar di Filipina mengidentifikasi Abu Sayyaf sebagai “penjahat muslim” atau “teroris Islam”.
Bagi de Jesus, ada yang keliru dalam pemberitaan mengenai Abu Sayyaf. Muslim dilihat seakan sebagai sumber masalah. Wartawan tidak sensitif dengan mengaitkan gerakan Abu Sayyaf sebagai personifikasi orang Islam. Kenyataannya, banyak orang Islam yang tidak setuju dengan kekerasan yang dilakukan Abu Sayyaf.
Berkaitan dengan persoalan-persoalan pemberitaan yang bersangkutan dengan agama dan ras, pada tahun 2002 itu pula saat peringatan Hari Pers Sedunia di Filipina, Unesco menggelar Konferensi Internasional tentang Media dan Terorisme. Oliver F. Clarke, Direktur Koran The Gleaner, Jamaica yang mengawali presentasi, menyebutkan, meliput terorisme harus dengan kepekaan dan profesionalitas tinggi. Media harus sensitif, terutama ketika berhubungan dengan ras atau agama.
Berita yang dimaksudkan mengkritik kelompok teroris, jika tak hati-hati bisa mengarah kepada penyosokan negatif terhadap ras atau agama tertentu. Tanpa memperhatikan hal-hal semacam itu, pemberitaan terorisme bisa menimbulkan masalah baru. Apalagi kalau media dibaca oleh khalayak yang beragam.
Begitulah pengamat media dan tokoh media asing memperhatikan sensitifitas suatu pemberitaan, terutama yang bersangkutan dengan ras dan agama. Sebaliknya dengan apa yang terjadi di Indonesia, yang mayoritas berpenduduk muslim, pemberitaan mengenai terorisme seakan-akan royal dengan penyosokan dan pengkaitan dengan agama. Ini terlontar dari ucapan aparat keamanan atau media. Padahal, rasio antara jumlah penduduk muslim dan pelaku terorisme, amat sangat kecil.