Stigmatisasi dan Generalisasi itu Keliru
Mediaumat.com. Sekarang seperti ada sikap paranoid terhadap simbol-simbol Islam seperti cadar, jubah, jenggot, pengajian bahkan Jamaah Tabligh pun dicurigai. Ditambah lagi pernyataan Pangdam IV Dipenogoro Mayjen Haryadi Soetanto. Ia menyatakan jika ada orang asing berjubah dan berjenggot laporkan saja kepada pihak keamanan. Padahal Pangeran Diponegoro berjubah. Sebagian ulama pun ada yang mewajibkan Jenggot dan cadar.Terkait dengan itu wartawan mediaumat.com Joko Prasetyo mewawancarai Jubir HTI M Ismail Yusanto (18/8) malam di Bogor. Berikut petikannya.
Ini menunjukkan gejala apa?
Inilah yang disebut dengan stigmatisasi negatif sekaligus juga generalisasi. Seperti yang sering saya bilang, semakin banyak banyak bom di Indonesia ini semakin aneh. Mengapa? Kalau kita menggunakan analisis hubungan antara aksi dan motivasi, semakin banyak bom yang meledak, semakin tampak ketidaknyambungan antara motivasi dan aksi itu.
Kalau kita percaya bahwa semua bom itu dilakukan dalam rangka apa yang mereka katakan sebagai perlawanan terhadap Amerika Serikat (AS), kenapa sejak bom Bali 1 hingga bom Ritz dan Marriott baru lalu tidak ada satu pun instalasi penting milik Amerika di Indonesia yang terkena. Bom pertama meledak di jalan Legian, Denpasar, Bali. Kenapa tidak terjadi di Jakarta? Bukankah instalasi penting AS itu ada di Jakarta? Memang ada bom di gedung konsulat AS di Denpasar, tapi itu kecil saja, paling cuma mematahkan satu dua ranting pohon.
Kemudian ketika giliran di Jakarta, kenapa Hotel Marriott yang dibom? Marriott itu bukan hotel Amerika. Itu hotel milik orang Indonesia yang kebetulan dioperasikan oleh jaringan manajemen Hotel Marriott yang memang berasal dari AS. Kenapa bukan gedung kedutaan? Pas gedung kedutaan, kenapa gedung kedutaan Australia? Itu pun hanya di depannya; bukan gedung Kedubes Amerika?
Yang lebih aneh lagi, bom Bali dua. Apa hubungan Raja’s Restoran dan pantai Jimbaran dengan Amerika? Dari 22 orang yang meninggal di pantai Jimbaran, 19 orang di antaranya Muslim. Begitu juga apa hubungan Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott dengan AS. Jadi, aksi-aksi pemboman itu sama sekali tidak nyambung dengan motivasi yang katanya untuk melawan AS. Bukan hanya instalasi penting milik AS, orang Amerika-nya juga tidak ada yang kena. Jangankan meninggal, yang luka saja tidak ada.
Mengapa bisa tidak nyambung antara motivasi dan aksi?
Berarti ini memang ada operasi intelijen yang disebut dengan istilah enam i yang ingin pencitraburukan terhadap Islam atau aktivis Islam. Yaitu infiltrasi terhadap kelompok-kelompok Islam, yaitu mereka yang memiliki semangat perlawanan terhadap Amerika. Kemudian terhadap kelompok itu dilakukan proses radikalisasi agar mereka lebih bersemangat lagi untuk melawan dan berkorban. Lantas mereka diprovokasi untuk melakukan aksi (sambil dilakukan disinformasi, misalnya bahwa Hotel Marriott adalah milik Amerika, bahwa di Pulau Bali banyak turis dan tentara AS, dan sebagainya yang buat orang tidak tahu mudah sekali dipercaya) berupa tindakan-tindakan pengeboman dan sebagainya sehingga terciptalah stigmasisasi. Stigma seperti apa? Ya stigma negatif, bahwa Indonesia adalah sarang teroris, teroris itu aktivis Islam itu dengan penampilan yang disebut oleh Pangdam Dipenogoro tersebut, pakai jenggot, celana di atas mata kaki, yang perempuannya mengenakan cadar.
Distigma juga bahwa pelakunya adalah kelompok fundamentalis yang berhubungan dengan pesantren. Stigma semacam itu sekarang sudah terjadi. Bahwa Indonesia memang adalah benar sarang teroris. Buktinya banyak sekali pemboman, dan pelakunya adalah orang-orang semacam Imam Samudra dkk yang aktivis Islam.
Apa dampaknya bagi kehidupan bermasyarakat?
Kalau dampak secara langsung itu timbul kecemasan, ketakutan atau mungkin paling tidak memiliki tanda tanya kepada mereka yang berciri-ciri seperti itu.