Propaganda Anti Islam Dibalik Perang Melawan Terorisme
Oleh Farid Wadjdi
Penjajah Barat kapitalis tidak berhenti melakukan melakukan evaluasi dan studi tentang kaum Muslimin dan Islam. Mereka sampai pada satu kesimpulan bahwa kekuatan Islam dan umatnya ada pada akidah Islam dan pemikiran-pemikiran yang lahir darinya. Karena itu, mereka tetap berkepentingan untuk memusnahkan Islam. Caranya adalah dengan menghapuskan Islam sebagai akidah siyâyisah (dasar sistem politik) dan menggantikannya dengan akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Mereka pun gencar mengembangkan ide-ide yang muncul dari aqidah sekularisme ini seperti nasionalisme, demokrasi, pluralisme politik, HAM, kebebasan, dan politik pasar bebas.
Di samping itu, untuk menjauhkan keinginan kaum Muslim untuk kembali ke Islam, mereka secara sistematis melakukan pendiskreditan Islam dengan predikat-predikat seperti teroris, fundamentalis, konservatif, ekstremis, dan sebutan-sebutan penghinaan lainnya. Mereka juga melakukan perang propaganda seperti melakukan obfuskasi (pembingungan), disformasi (pemberian informasi yang tidak benar), desepsi, deversi, dan cara-cara propaganda lainnya. Intinya, mereka melakukan penyesatan opini terhadap kaum Muslim. Semuanya itu, sekali lagi, bermuara pada satu hal: memberangus Islam sebagai kekuatan politik dan ideologis sekaligus menghalangi tegaknya Daulah Islamiyah dan penerapan Islam yang kâffah.
Propaganda yang Sistematis
Penyesatan opini, dalam berbagai bentuknya, sesungguhnya merupakan bagian dari sebuah propaganda. Propaganda sering diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan seorang komunikator yang bertujuan untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku penduduk yang menjadi sasarannya melalu simbol-simbol verbal, tulisan, dan perilaku; dengan menggunakan media seperti buku-buku, pamflet, film, ceramah, dan lain-lain. Propaganda merupakan salah satu metode standar yang digunakan negara untuk mengamankan, memelihara, dan menerapkan power (kekuasaan) dalam rangka memajukan kepentingan nasionalnya. (Columbus dan Wolf, Pengantar Hubungan Internasional, hlm. 184).
Melihat defenisi di atas, propaganda merupakan perkara yang ‘wajib’ ada dalam sebuah negara, apalagi negara yang ideologis. Di sinilah penguasa atau rakyat sebuah negara harus benar-benar mampu menilai mana yang merupakan propaganda mana yang tidak. Penguasa atau rakyat sebuah negara yang gagal memahami propaganda negara lain akan mengakibatkan perubahan sikap, pendapat, dan perilakunya justru sejalan dengan kepentingan musuh.
Umat Islam sebagai umat yang ideologis harus benar-benar menyadari bahwa propaganda itu benar-benar ada. Propaganda bisa dilakukan secara sistematis untuk mendapat kemanfaatan jangka pendek atau bisa juga untuk kemanfaatan jangka panjang. Untuk jangka pendek, misalnya, melegalisasi serangan ke sebuah negara dan menjatuhkan sebuah rezim atau pemerintahan di sebuah negara; seperti propaganda AS untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein, Soekarno, dan Soeharto, termasuk Taliban di Afganistan. Sebagai contoh, saat hendak menyerang Irak dalam Perang Teluk II, AS melancarkan propaganda dengan melakukan pembohongan informasi kepada kongres dan publik AS.
Terungkap kebohongan Nariyah yang katanya merupakan saksi kekejaman tentara Irak. Namun ternyata, gadis ini tidak pernah bekerja di Kuwait dan saat peristiwa ada di Paris. Atas dasar laporan bohong itulah, kongres menyetujui serangan ke Irak. (Lihat: ZA Maulani, dalam, Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, hlm. 9). Untuk menjatuhkan rezim Taliban, AS dalam propagandanya mendaftar pengkhianatan Taliban terhadap rakyat Afganistan seperti pembantaian, pelanggaran hak asasi wanita dan anak perempuan, perilaku korup, dan menggunakan Islam sebagai selubung pembantaian etnis. (Jaringan Teroris, Deparlu AS, hlm 13).
Propaganda bisa dilakukan juga untuk kepentingan jangka panjang. Propaganda seperti ini biasanya lebih bersinggungan dengan nilai-nilai ideologis yang ingin disebarkan di pihak lawan dan, sebaliknya, menanamkan ‘citra jelek’ terhadap nilai-nilai ideologis yang dianut oleh negara musuh. Tipe propaganda seperti ini biasa lebih membutuhkan waktu yang panjang, namun secara sistematis dan kontinu terus dilakukan. Sebagai contoh, bagaimana AS dengan gencar menyebarkan nilai-nilai ideologisnya seperti sekularisme, demokrasi, HAM, kebebasan, dan pasar bebas. Sesungguhnya ini merupakan propaganda jangka panjang AS. Tujuannya jelas, yakni untuk kepentingan AS sendiri. Sebaliknya, AS membuat citra jelek terhadap lawan ideologinya seperti tuduhan teroris, ekstrimis, konservatif, dan pencitraan jelek lainnya. Metode utama propaganda jangka panjang ini yang dilakukan oleh AS adalah disinformasi, yakni melakukan penyesatan opini. Inilah yang sekarang ini sedang dilakukan oleh AS kepada musuh utama ideologisnya, yakni Islam.