Mama tak pernah menangis
Oleh Svetlana
Terakhir kami meninggalkan rumah karena sepupu kami berulang tahun. Masih di Jakarta. Kami bermalam di sana. Rupanya kepergian itu benar-benar untuk terakhir kali karena kami tidak lagi bisa pulang ke rumah. Semenjak itu entah berapa banyak rumah yang kami singgahi. Dengan enam anak ditambah satu lagi dalam kandungan mama tetap berusaha membuat anak-anaknya senang. Dari kain perca dan kertas dibuatkannya mainan. Yang lelaki tetap bisa main bola, yang perempuan asyik main boneka. Dengan kain yang ada dijahitnya pakaian kami. Diajarkannya kepadaku yang tertua menghias pakaian dalam kami dengan monogram agar masing-masing mudah mengenali miliknya. Maklum usia kami tak jauh beda, mama menjahitnya dengan tangan dari kain belacu jadi serupa. Menjahit dengan bibir tersenyum.
Kami tinggalkan bui, berganti-ganti kereta api, sampai di sebuah desa kecil, rumah dinas pakde. Sembari mengasuh bungsu diajarnya aku bermacam ketrampilan perempuan. Aku bisa menyulam. Aku trampil merenda. Mama menjahit, aku menghias. Pakaian, tas sekolah, sapu tangan, disulapnya dari sisa-sisa kain pemberian. Adik riang bermain, tertawa, kemudian menangis, tertawa lagi. Mama tersenyum.
“Belajar yang baik biar pintar.” Singkat pesannya ketika aku harus meninggalkan desa menuju ke Solo untuk melanjutkan sekolah ke SMP. Bersama sepupuku aku berangkat berkendaraan truk dinas pakde. Selama ini kami selalu bersama. Tapi aku harus pergi. Airmataku sempat menitik. Tak banyak cakapnya, tapi manis senyumnya. Dari bak belakang truk kulambaikan tangan. Adik-adik terus melonjak-lonjak melambai girang. Senyum mama manis, tapi pasti tak ada tangis.
“Jaga adik-adikmu”, pesan berikut kuterima lewat pakde. Tak hanya pesan, lima adikku dibawa menyusulku ke Solo. Kini kami bersama lagi. Namun mama dan si bungsu tak ada. ‘Mama dan adik dibawa tentara’, kata seorang adikku. Gundah hatiku karena belum ada yang tahu kemana mama dan bungsu dibawa. Gundah dan bingung. Antara senang berada kembali di antara adik-adik kecilku sekaligus bingung karena sekarang mereka menjadi bagian tanggung jawabku. Lalu terngiang olehku pesan itu diiring bayangan senyum mama. Betapapun aku tahu mama takkan menangis, maka pagi hari kuguyur tiga orang adikku yang kecil dengan air yang baru kutimba. Mereka jongkok di tepi sumur, kegirangan kedinginan. Mereka menangis bila kerabat kami ingin memandikannya. “Karo mbak wae!” – dengan mbak saja, serunya merajuk.
Belakangan kami tahu mama di Bulu, Semarang. Keterbatasan membuat keluarga mama tak bisa sering-sering menjenguk. Keterbatasan pula tak memungkinkan kami dibawa. Sesekali adik lelakiku pergi bersama paklik ke sana. Tiap kali dijenguk mama menitipkan hasil kerajinannya untuk kami. Lalu kami akan berfoto dengan mengenakan hasil karya mama itu untuk kembali ditunjukkan padanya. Lalu mama dipindahkan ke Jakarta. Lalu si bungsu, harus dipulangkan. Umurnya sudah empat tahun. Dia diasuh oleh adik mama di Jogja.
Tak terasa tamat sudah aku dari SMP. Jerih payahku tak sia-sia. Prestasi tertinggi kuraih. Tak cuma aku, semua keluarga gembira. Bagiku, setidaknya upayaku untuk menjadi teladan adik-adik tercapai. Prestasi mereka tak kalah bagusnya. Bahkan lebih hebat. Terpancar kegembiraan keluarga yang mengasuh kami.
Sepupuku, anak adik mama, datang menjemputku. Tante ingin aku kembali ke Jakarta, melanjutkan sekolah sembari membantu sepupu-sepupuku belajar. Aku kembali bingung harus meninggalkan adik-adik, melepaskan mereka sepenuhnya bersama bude dan kerabat lain yang mengasuhnya, sementara aku sudah senang dan betah bersekolah di Solo. Belajar budaya Jawa yang semula tak kukenal sungguh menyenangkan. Di sana aku belajar menari, karawitan, juga mocopat. Walau tak pandai benar aku amat menikmatinya. Tapi tante membutuhkan aku. Dengan berat hati aku pergi. Sekuat tenaga kutahan air mataku demi adik-adik. Jangan sampai mereka bersedih. Bukankah mama tidak pernah menangis? Lagi pula aku jadi bisa ketemu mama.
Tetap saja aku tak bisa sering menjenguknya. Jam besuk hanya ada pagi hari. Aku pergi sekolah. Dengan enam orang anak ditambah diriku, tante tak kalah sibuknya. Jadi aku hanya datang sebulan sekali, membolos sekolah. Bergantian dengan tante.
Baru setahun aku di Jakarta bude yang mengasuh kami di Solo harus pindah ke Jakarta. Kami tercerai berai. Dua orang adik ke Medan ikut tante, dua lagi diambil pakde di Palembang, seorang tetap bersama bude di Jakarta. Nyaris kami tak pernah saling berhubungan kecuali sesekali dengan surat. Bertahun-tahun sampai aku lulus dan bekerja.