Guy de Maupassant
Alih Bahasa: Ridwan Siregar, SH
Hari pekan di kota Goderville, Perancis. Para petani datang dari seluruh pelosok desa. Pakaian mereka berwarna-warni. Ada membawa lembu, ayam atau itik. Berbagai jenis kereta digunakan para pedagang dan pengunjung. Pekan itu sangat ramai dengan manusia dan hewan. Suara hiruk-pikuk memekakkan telinga, demikian pula suara lenguhan lembu. Pekan berbau kandang, susu, jerami dan keringat.
Tuan Hauchecome dari desa Breaute, ketika berjalan menuju lapangan pekan, melihat ada tali seutas terletak di tanah. Sebagai biasanya orang Norman yang bersifat hemat, dipertimbangkannya. Benda itu layak dipungut, berhubung mungkin dapat dipergunakan kelak. Tali kecil dan tipis itupun, dipungutnya dari tanah. Dia dilihat oleh Tuan Malandain, tukang pelana kuda, yang berdiri di pintu kedainya. Mereka pernah berselisih dan sejak itu mereka saling membenci. Tuan Hauchecorne malu, karena dilihat oleh musuhnya memungut seutas tali di jalanan. Disembunyikannya tali itu ke dalam kantong celananya dan berpura-pura mencari sesuatu yang belum ditemukannya. Akhirnya dia menghilang ke pekan. Tak berapa lama diapun lenyap ditelan keramaian, yang terus bergerak lamban dan bising, oleh jual beli dan tawar menawar.
Para wanita meletakkan keranjang besar mereka, mengeluarkan ayam dan itik. Diletakkan di tanah, dengan kaki terikat. Penjual tawar-menawar dengan pembeli dan akhirnya berteriak kepada pembeli yang akan pergi, “Boleh! Ambillah, Tuan Authirne!”
Pekan berangsur-angsur menjadi lengang. Lonceng tengah hari berbunyi. Orang-orang yang rumahnya jauh, mampir di rumah makan Jourdain yang luas, di mana banyak orang makan. Di halamannya yang juga luas, parkir segala macam kendaraan, seperti kereta kuda beroda dua dan kereta sampah. Tak terhitung jumlah kendaraan tak bernama, yang buruk dan berlumpur.
Sebuah pediangan besar memberikan panasnya, ke punggung orang yang duduk didekatnya. Tiga jenis panggangan, yang terdiri dari daging ayam, merpati dan domba sedang dibangkit. Aroma panggangannya yang lezat dan aroma minyak yang meleleh dari daging yang merekah, menimbulkan selera dan air liur. Seluruh petani, jago-jago pembajak ladang, bersantap di rumah makan itu. Gulai yang dihidangkan habis. Begitu pula kendi-kendi minuman berisi minuman dari apel, berwarna kuning. Setiap orang bercerita tentang urusan dan jual-belinya.
Tiba-tiba terdengar suara tambur di halaman rumah makan. Juru penerangan mengakhiri tamburnya. Kemudian mengumumkan: “Diberitahukan, pagi tadi telah hilang sebuah buku saku hitam, berisi uang 500 franc* dan surat-surat berharga di jalan Benzeville, antara jam 09.00 dan 10.00.
Kepada penemunya diminta mengembalikannya ke kantor Walikota atau kepada Tuan Fortune Houlbreque dari desa Manneville, akan diberi hadiah 20 franc.”
Kemudian diapun pergi. Semua orangpun membicarakan peristiwa itu dan bisa-tidaknya buku saku itu diperoleh kembali.
Orang-orang meneruskan santapannya. Mereka telah hampir selesai minum kopi, sewaktu seorang kopral polisi muncul di pintu. Polisi itu bertanya : “Apakah Tuan Hauchecome dari Breaute ada di sini?”
Hauchecome berkata, “Ya, saya ada di sini.”
Kemudian dia ikut bersama kopral itu ke kantor Walikota. Walikota telah menunggu kedatangannya.
“Tuan Hauchecome,” kata Walikota, “tadi pagi di Jalan Benzeville, ada yang melihatmu memungut buku saku Tuan Houlbreque yang hilang itu.”
Orang desa itu heran mendengar ucapan Walikota.
“Aku? Aku yang memungut buku saku itu?”
“Ya, kamu.”
“Aku bersumpah, aku sedikitpun tak tahu-menahu mengenai hal itu.”
“Ada saksi yang melihatmu.”
“Ada yang menyaksikan aku? Mana orangnya?”
“Tuan Malandain, pembuat pelana kuda.”
Orang tua itu ingat sekarang, dia mengerti sudah. Dengan muka merah padam karena marah, dia berkata:“Dia melihatku? Si jahannam itu? Yang dilihatnya kupungut adalah tali ini, Tuan Walikota.”
Dikeluarkannya dari saku celananya, seutas tali yang pendek. Walikota tak percaya.
“Aku tak percaya, Malandain menyangka seutas tali sebagai buku saku.”
Orang tua itupun mengamuk. Diacungkannya tangannya sambil meludah ke lantai, seakan hendak membuktikan kejujurannya dan menjawab: “Aku bersumpah demi Tuhan, aku berkata benar. Nah, demi keselamatanku, kuulangi lagi!“
Walikota meneruskan: “Setelah memungut benda tadi, kamu masih mengamati tanah becek itu, melihat kalau-kalau masih ada uang yang terjatuh dari benda itu.”