
Tanah partikelir adalah tanah yang memiliki sifat dan corak yang istimewa. Di mana tanah ini memiliki hak yang bersifat kenegaraan, yang disebut “landheerlijke rechten” atau hak-hak pertuanan. Hak pertuanan misalnya: hak mengangkat dan menghentikan kepala kampung, hak menuntut kerja paksa, hak mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang maupun hasil bumi dari penduduk, hak untuk mendirikan pasar, hak memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan, hak untuk mengharuskan penduduk memotong rumput, dan macam-macam hak lagi atas tuan tanah pada tanah partikelirnya. Dengan adanya hak-hak pertuanan itu, maka tanah-tanah partikelir tersebut seakan-akan merupakan negara dalam negara. Oleh karena itu Chastelein sebagai seoraang tuan tanah dapat dengan leluasa seperti seorang ’raja kecil’ mengurus tanahnya serta semua yang diam di atas tanah tersebut.
Cornelis Chastelein sebagai seorang saudagar mempunyai satu tujuan yaitu ingin memanfaatkan tanah tersebut demi kepentingan perdagangan. Sebagai seorang saudagar ia tahu tanaman-tanaman apa yang dapat laku di pasaran dan ini pasti banyak menghasilkan uang. Di samping itu sebagai seorang pemeluk agama Kristen Protestan yang sangat puritan, ia ingin meneruskan cita-cita ayah dan kakeknya yaitu membentuk sebuah komunitas Kristen yang sealiran. Oleh karena itu dalam wasiatnya ia susun sedemikian rupa sehingga akan terbentuk suatu komunitas Kristen yang ia cita-citakan. Bahwa ia membebaskan budak 60 tahun lebih dulu dari pengesahan undang-undang anti perbudakan di Amerika, ia bukanlah seorang pionir, karena pemerintah Kompeni pun membebaskan budak-budaknya dengan syarat mereka harus masuk agama Kristen Protestan saat Kompeni mengalahkan Malaka pada tahun 1641. Para tawanan yang berstatus budak tersebut selanjutnya disebut kaum mardijker ’orang merdeka’. Mereka bermukim di sekitar Gereja Sion atau Portugeesche Buitenkerk dan sisanya kini masih bermukim di daerah Tugu Jakarta Utara.
Tanah Garapan
Semasa Cornelis Chastelein masih hidup, para budak itu harus bekerja di sawah dan membantu di rumahnya untuk menyelesaikan berbagai macam pekerjaan. Kekayaan Cornelis Chastelein begitu berlimpah karena kerja keras para budaknya. Pada saat ia membeli tanah, di atas tanah tersebut sudah ada penduduknya yang merdeka. Mereka ini disebut orang Depok asal. Mereka statusnya sebagai penggarap maro pada Chastelein. Untuk lebih meningkatkan hasil bumi didatangkan orang-orang dari Sulawesi, Timor dan Bali. Mereka adalah budak-budak yang dibeli di Batavia. Pada saat Chastelein masih hidup semua budak itu hidupnya tergantung dari tuannya. Pada siang hari mereka bekerja dan pada malam hari mereka diajari agama terutama menghafal sepuluh perintah Allah.
Untuk memudahkan pengaturannya, maka budak-budak tersebut dibagi menjadi 12 marga yaitu:
Jonathans, Leander, Loens, Bakas, Soedira, Samuel, Jacob, Laurens, Joseph, Tholense, Iskah, Zadokh (Kedua belas nama itu kini tertulis di duabelas pintu gereja Immanuel di jln. Pemuda Depok). (Sekarang keluarga Zadokh sudah tidak ada lagi).
Testamen Cornelis Chastelein
Sebelum meninggal dunia seperti kebiasaan orang Belanda, ia meninggalkan surat wasiat agar para ahli warisnya tidak saling berebut warisan yang berakibat pecahnya suatu keluarga. Ia mewariskan hartanya kepada Maria Chastelein dan Antony Chastelein dan di samping itu ia memerdekakan budak Kristen sebanyak 150 orang dan budak-budak lain yang beragama Islam. Di antara mereka adalah orang tua dari budak-budak yang sudah memeluk agama Kristen. Dalam testamennya berbunyi demikian:
Verder soo verclare te emanciperen en in volkomen vrijdom te stellen alle mijne Christenslaven en slavinnen benevens haare kinderen en kindskinderen, hetwelcke ook plaats zal moeten hebben, omtrent alle degene die geduurende mijn leven nog Christen en kinderen die na dato deser gebooren worden, bestaande de gemelte Christenen jegenwoordig soo oud als jong, benevens de kinderen en kinds kinderen wel in de honderd en vijftig menschen daar onder vele jonge mannen en vrouwen die in korten tijd nog merckelijk sullen kunnen vermenigvuldigen.
Nog soo schenke ik de vrijdom aan Jan van baly alias batoepahan synde Mohamedaan, aan Samat van Baly, Hanny van Baly, Willem van Macasser en Florian van Benglie, gelijk mede vrijdom schenke aan bapa ramia en sijn wijff Ma Ramia, Lucas en sijn wijff
Clara, Tanckas, Ma Djagat, Ma Lantas, Hagar en Soma, alle van Baly ende bejaarde off meest eigene; afgeleefde lieden van