
Di usianya yang ke 72 tahun, penulis Nh Dini tetap semangat menulis. Buku terakhirnya Argenteuil, Hidup Memisahkan Diri, yang kembali diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama merupakan kelanjutan dari rangkaian buku seri Cerita Kenangan sebelumnya. ”Jadi, ini bukan novel. Saya buat serangkaian seri kenangan yang pura-puranya tokoh utamanya saya,” jelas Dini sebagiaman yang dikutip oleh Kompas. Ia juga menolak kalau Seri Kenangan disebut riwayat hidup atau otobiografi. Menurut Dini, Cerita Kenangan tidak bercerita melulu mengenai dirinya, melainkan juga tentang kejadian dan manusia-manusia di lingkungannya selama ia hidup yang mengandung arti suvenir atau kenangan.
Karya pertama seri Cerita Kenangan berjudul Sebuah Lorong di Kotaku (1986). Buku ini ditulis Dini sewaktu bekerja sebagai perawat Tuan Willm di kota Argenteuil, Perancis. Isinya bercerita mengenai berbagai peristiwa dalam perjalanan hidup Dini dan keluarganya di kawasan atau lingkungan di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Sebuah rumah di gang kecil yang pada kedua sisinya dialiri selokan dalam di pojok Kampung Sekayu di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Berikutnya menyusul buku cerita kenangan lain seperti, Padang Ilalang di Belakang Rumah (1987), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1987), Kuncup Berseri (1996), hingga yang terbit tahun 2007 berjudul La Grande Borne. Buku seri Cerita Kenangan yang sudah diterbitkan hingga saat ini seluruhnya berjumlah 11 buku, termasuk yang baru diterbitkan tahun ini Argenteuil, Hidup Memisahkan Diri (2008).
Argenteuil mengisahkan kehidupan Dini saat pertama kalinya hidup memisahkan diri lepas dari suaminya, Yves Coffin, seorang diplomat Perancis. ”Nah, ini merupakan periode hidup menyendiri lagi dalam berumah tangga,” kata Dini. Berbeda dengan karya sebelumnya, La Grande Borne, yang isinya penuh dengan kepedihan, pada Argenteuil Dini bisa lebih lancar dalam menuliskannya. ”Rasanya ada kepuasan hidup tanpa pendamping yang begitu menekan. Ya, ada semacam lepas dari beban yang berat,” ujar Dini.
Periode Nh Dini memisahkan diri dari keluarga ini lantaran suaminya, Yves Coffin, mendapat tugas baru menjadi Konsul Jenderal Perancis di Detroit, Amerika Serikat. Hubungan suami istri yang semakin memburuk di antara keduanya pada saat itu membuat Dini memutuskan untuk tidak ikut ke AS. Hanya suami dan anak laki-laki bungsunya, Pierre Louis Padang, yang saat itu masih berumur 8 tahun yang berangkat ke Detroit, sementara ia dan putri sulungnya, Marie Claire Lintang, tetap tinggal di Perancis karena Lintang masih harus menyelesaikan sekolahnya untuk mendapatkan ijazah Bacalaureat.
Argenteuil adalah sebuah kota kecil yang letaknya kurang lebih 10 kilometer barat laut Perancis. Di sinilah Dini mulai kembali hidup sendiri dengan bekerja sebagai wanita pendamping (dame de compagnie) seorang laki-laki tua, Tuan Willm, di sebuah rumah besar yang sebelumnya pernah ditinggali Karl Marx. ”Hidup sendiri tapi tidak kesepian,” kata NH Dini. Lintang hanya di akhir pekan saja tinggal bersamanya karena Lintang harus tinggal di asrama.
Di toko buku, buah karya Dini mudah ditemukan pada rak kategori novel. Kemahiran Dini merangkai kenangannya membuat pembaca seringkali terkecoh, mengganggap kisah kenangannya sebagai karya fiksi. Dan nama Dini sudah disejajarkan dalam sastrawan-sastawan terhormat di negeri ini.