Fauzia Abrar hampir saja menidurkan bayinya ketika ia mendengar teriakan sekelompok pria di luar rumahnya, yang terletak di kawasan kumuh di Karachi, Pakistan—yang dihuni oleh mayoritas Kristen.
Tak lama, ia mendengar bunyi tembakan dan teriakan yang makin memekakkan telinga: “Hidup Taliban! Matilah orang kafir!”
Sesudah itu, kelompok pria tersebut memasuki rumahnya dengan paksa, menghempaskan tubuh Fauzia hingga pingsan.
Sebagaimana Taliban kian mengukuhkan pijakannya di Pakistan, kekerasan terhadap agama minoritas di luar Islam juga semakin mengemuka. Bahkan, kekerasan tak semata-mata dilakukan oleh Taliban, pelbagai teroris Islam lainnya pun kerap melakukan hal yang sama mengatasnamakan kelompok militan itu.
Dalam lusinan wawancara terhadap golongan minoritas di Pakistan—Kristen, Sikh, Hindu—yang dilakukan oleh AP, mereka semua menunjukkan sikap yang sama: merasa sangat takut terhadap serangan dan ancaman yang dilakukan oleh pelbagai kelompok Islam garis keras di Pakistan.
Minority Rights Group International, organisasi pemantau HAM, menempatkan Pakistan sebagai negara yang paling berbahaya bagi kaum minoritas. Negara-negara lain yang juga berbahaya adalah Somalia, Sudan, Afghanistan, Iraq, Myanmar, dan Congo.
“Di Pakstan, saat ini semua kaum minoritas dicekam oleh rasa ketakutan,” ujar Pendeta Richard D’Souza dari Gereja Santo Yudas di Karachi. “Kami tidak merasa dilindungi,” tutur D’Souza yang mengaku bahwa teror yang ia alami bermula dari grafiti di gedung gereja yang berisi pujian terhadap Taliban dan hukum syariah, serta mengecam umat Kristen sebagai kafir.
Tulisan itu pun menuai protes dari sejumlah pemuda Kristen di kawasan itu.
Beberapa hari berselang, sekitar 25 pria berjanggut mengamuk di permukiman itu dan menyerang dan melempari umat Kristen—pria maupun wanita—dengan batu, serta membakar kediaman mereka. Seorang anak lelaki berusia 11 tahun tewas, dan beberapa lainnya terluka.
“Polisi tidak pernah menolong kami. Tidak ada satu pun dari antara kami yang memiliki senjata. Saat penyerangan itu berlangsung polisi hanya diam,” papar Imran Masih, 26 tahun, yang menghabiskan waktu di rumah sakit selama 10 hari karena serpihan peluru menancap di lehernya.
D’Souza mengatakan, paroki pernah meminta bantuan pasukan bersenjata untuk berjaga-jaga di sekitar gereja dan permukiman Kristen. Namun, pemerintah hanya menyediakan dua polisi yang berjaga-jaga pada ibadah Minggu Paskah, dan menghilang keesokan paginya.
Menteri Urusan Minoritas Shahbaz Bhatti menjelaskan bahwa pemerintah mencoba menghentikan penetrasi Taliban melalui operasi militer. Apalagi, ketakutan tak hanya dirasakan oleh kaum minoritas, tetapi juga oleh mayoritas Islam yang tidak menganut paham Taliban, seperti suku Shiite.
Dalam dua tahun terakhir, Taliban telah menewaskan lebih dari 500 anggota suku Shiite.
Sedangkan pada Maret kemarin, lebih dari 25 keluarga Sikh tewas oleh serangan Taliban. Mereka diserang lantaran menolak berpindah keyakinan dan bergabung dengan pasukan jihad. Tapi nyawa mereka bisa selamat apabila bersedia membayar uang jaminan sebesar 62 juta dolar AS.
“Kami tidak dapat menyediakan uang sebesar itu, kami hanya petani,” kata seorang pemuda Sikh yang hanya menyebutkan namanya dan menolak menyebutkan identitas lainnya—demi kemanan. Saat mengisahkan serangan itu, suara Singh—nama pemuda itu—bergetar dan ia terlihat gelisah.
“Kami telah meminta kepada pemerintah untuk mengungsikan kami dari Pakistan, ke tempat yang lebih aman,” imbuhnya.
Setali tiga uang dengan umat Kristen dan Sikh, kaum Hindu pun tak luput dari serangan ekstrimis Islam. Bulan lalu, kelompok ekstrimis menyerang festival agama Hindu Holi—tak jauh dari perbatasan India—dan membakar kuil Hindu serta menghancurkan sejumlah toko di permukiman Hindu. Tahun lalu, seorang buruh pabrik beragama Hindu mati usai dipukuli rekan-rekannya yang menuduh pemuda malang itu telah menghina Islam.
“Kami merasa khawatir dengan masa depan keluarga dan anak-anak kami di Pakistan—semua kaum minoritas, karena apa yang telah dilakukan para kelompok ekstrimis,” keluh Amarnath Motumal, penganut Hindu yang berprofesi sebagai pengacara.
source : Global Ministry