Ini tulisan seorang Budayawan, Radhar Panca Dahana, mengenai Politik di Indonesia
Sejarawan yang juga Ketua Akademi Jakarta, Prof Dr Taufik Abdullah, menggambarkan dengan cukup jitu bagaimana pembangunan dan kerja keras dimensi hidup (politik, ekonomi, pendidikan,dan sebagainya) selaiknya memiliki platform kultural atau strategi kebudayaan yang kuat dan workable dalam mewujudkan apa yang oleh konstitusi diamanatkan: "mencerdaskan kehidupan bangsa".
Dalam sebuah pertemuan kaum budayawan di Jakarta beberapa hari lalu, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang memiliki tiga gelar doktor berjenjang dari Prancis, Prof Dr Daoed Joesoef, mengelaborasi "kehidupan yang cerdas" itu sebagai kehidupan yang diisi oleh the educated men.
Masyarakat yang berpendidikan, tidak dalam arti sempit sekadar nilai atau jumlah kelas dan tahun yang dijalani, tetapi lebih pada keterdidikan dalam mengapresiasi, memaknai, dan mengisi kehidupan. Itulah manusia yang berbudaya, man of culture, manusia atau masyarakat yang tidak memandang dan menghayati hidupnya melulu dari kotak dangkal dunia (disiplin) sendiri.
Manusia yang melihat apa pun yang dia perbuat-- juga orang lain perbuat-- memiliki dampak terhadap lainnya. Pertimbangan sosial dan kolektif, jika tidak mendahului, setidaknya bersamaan dengan kepentingan pribadi yang dibelanya habis-habisan.
Inilah kapasitas umum yang tentu saja menjadi prasyarat dasar bagi mereka, siapa pun, yang memiliki peluang, ambisi atau di-percaya memangku jabatan publik, mewakili khalayak atau orang banyak, memiliki obligasi moral, etis hingga konstitusional untuk tidak hanya menyejahterakan, tapi juga membawa khalayak ke masa depan yang pantas dan sesuai dengan apa yang pernah diraihnya secara historis, ratusan bahkan ribuan tahun lalu. ***
Perkembangan mutakhir kehidupan politik kita belakangan ini, yang memiriskan, sama sekali tidak mendukung pemahaman di atas. Pemahaman sederhana, tidak terlampau rumit teoritis atau ideologis, tetapi ideal-pragmatis sebagaimana diamanatkan para founding fathers melalui konstitusi yang mereka lahirkan.
Cermati, misalnya, bagaimana satu kubu yang tengah menggalang koalisi dalam prosesi pemilihan presiden saat ini di mana juragan partai yang berkoalisi tersebut masing-masing berebut dan tak mau mengalah hanya untuk menerima atau tidak sisipan "wa" dari kata capres. Komitmen kekuasaan, politik dalam artis luas, untuk menjunjung setingginya harkat kemanusiaan dari khalayak atau publik dalam situasi itu benar-benar seperti irisan daging steak di meja makan.
Bisa tak jadi dimakan karena sausnya tak enak atau terlupa karena sibuk ngobrol atau kenyang oleh makanan lain sehingga daging itu akan memucat, dingin, mengeras, bisa jadi berjamur sebelum seekor kucing, mungkin tikus, lalat, boleh jadi belatung, menikmatinya.
Terlebih ketika ada kecenderungan dua kekuatan, yang selama ini mengambil posisi bertentangan dalam sebuah permainan keseimbangan yang konstruktif dan mutualistis, berdekatan untuk membuat koalisi. Koalisi yang tidak hanya membuat kekuasaan berlangsung timpang tanpa kekuatan besar mengoreksi diri. Atau semacam pengkhianatan pada pencitraan "ideologis" yang selama ini terjadi--yang satu promodal dan lainnya propublik.
Atau yang lebih utama, niat koalisi itu meninggalkan pihak yang selama ini menjadi jargon keabsahan mereka: publik atau rakyat. Mereka yang konon begitu gigih memilih demokrasi barangkali lupa, dalam definisi standar demokrasi, kata publik (rakyat) disebut tiga kali dalam definisi pendek itu: "dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat".
Begitu pun kata republik yang menjadi harga mati konstitusi serta 230 juta pemeluknya mengindikasikan semua hal yang kita perbuat harus kembali ("re") kepada publik. Di titik ini tentu saja dengan mudah kita mafhum, betapa permainan politik belakangan ini, alih-alih mengarah pada tujuan dasar bernegara, "mencerdaskan kehidupan bangsa", malah justru menegasikannya.
Bahkan lebih jauh dari sekadar melakukan "pembodohan", tapi mengeksploitasi kebodohan itu. Itulah yang tampaknya menjadi cermin terkuat dari wajah politik kita terakhir. Sebagaimana konflik berbagai partai mencuat ke permukaan lautan kesadaran kita.
Para elite partai dengan sekehendak hatinya, menuruti nafsu kekuasaannya,melupakan bahkan mengalienasikan begitu saja publik yang telah mendukung, telah memilihnya. Para elite itu bersekongkol dan mengikuti lelang sapi serta saling menawar harga tinggi untuk daging mentah, bahan steak yang hanya mampu sesaat menggoyang lidahnya, mengisi jamban, atau meninggalkannya di ujung dapur, berkawan dengan jamur. ***
Bersambung...