Saat ini mudah mendapati pedagang valuta asing atau money changer di seluruh pelosok Jakarta. Setengah abad silam, mata uang asing hanya bisa ditukarkan di satu tempat, yakni Pasar Baroe.
Pada masa Revolusi (1945-1949), sejumlah tauke menjadi pedagang uang untuk menukar uang Jepang dengan uang Nica (uang merah). Kala itu, satu rupiah uang Nica setara dengan 16-17 rupiah uang Jepang. Sejarawan, Des Alwi, menjelaskan, semasa perjuangan sekitar tahun 1946, dirinya beserta sejumlah pejuang menyelundupkan uang Jepang dari daerah pedalaman (wilayah Republik) ke Pasar Baroe untuk ditukar uang Belanda dan kemudian dibelikan senjata untuk berjuang. Mereka menyelundupkan timbunan karung berisi uang di balik tumpukan sembako yang dibawa kereta api ke Batavia.
“Waktu itu di wilayah pendudukan tentara Inggris, seperti di Malaya dan Singapura, dinyatakan uang Jepang tidak berlaku. Namun, di Jakarta lain cerita sehingga diputuskan untuk menukar uang Jepang di Jakarta. Dari 100 karung uang Jepang, diperoleh 50.000 uang merah. Sesudah itu kami membeli senjata dari tentara Belanda yang kemudian diselundupkan ke Karawang melalui kereta api dan didistribusikan kepada pejuang kita,” tutur Des Alwi.
Senjata diperoleh dari oknum tentara Belanda dengan harga bervariasi tergantung jenis yang diinginkan. Des Alwi seraya mengingat memaparkan, 800 uang Nica dibelikan Tommy gun, pistol FN seharga 350, dan sepucuk Sten gun 600.
Salah seorang saudagar yang kerap membantu Des Alwi adalah Singh, pemilik toko alat olahraga. Aksi itu sempat berlangsung beberapa kali hingga masa damai, yakni pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949.
Pasar Baroe pun sudah mulai dikenal sebagai tempat jual-beli valuta asing (valas). Sebagian besar proses berlangsung secara tradisional oleh belasan pedagang yang biasa mangkal di pinggiran toko. Sebagian besar biasa berkumpul di pelataran Toko Populer—tempat lagu Indonesia Raya pertama kali digandakan dalam piringan hitam—untuk bertemu calon konsumen.
Tukang catut dollar
Setelah nasionalisasi perusahaan Belanda tahun 1955, profesi tukar uang ini dikenal sebagai tukang catut dollar, semasa nilai tukar berkisar Rp 175 untuk 1 dollar AS. Nama itu melekat hingga pergolakan pemberontakan PKI 1965 dan turunnya Presiden Soekarno ketika nilai tukar 1 dollar AS setara Rp 325.
Buyung (71), seorang tukang catut dollar yang memulai profesi tahun 1956, menjelaskan, kebijakan devisa waktu itu sangat ketat dan tidak sembarang orang bisa membawa dan menukar valas dengan rupiah atau sebaliknya. “Kita kalau tertangkap bisa dituduh subversi. Transaksi dilakukan sembunyi-sembunyi waktu itu,” ujar Buyung.
Darlim (71), sesama tukang catut dollar, membenarkan ucapan Buyung. Untuk transaksi, biasanya pemegang dollar berunding soal nilai tukar dengan rupiah. Selanjutnya, tukang catut menghubungi tauke untuk menentukan harga beli.
Setelah tercapai kata sepakat, tukang catut pun mengambil dollar dan ditukar dengan rupiah. Selisih harga menjadi keuntungan tukang catut yang bisa memperoleh penghasilan hingga ribuan rupiah dalam sehari di masa kehidupan sangat susah tahun 1960-an.
Pengalaman kucing-kucingan sebagai tukang catut amat menarik. Semisal Buyung, dia pernah didatangi Kepala Kepolisian Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang berpakaian preman untuk mencari tahu lika liku perdagangan valas di Pasar Baroe.
“Pak Hoegeng tidak menangkap saya, dan justru bertanya baik-baik tentang siapa saja yang paling sering menjual dollar dan uang asing di Pasar Baroe,” ungkapnya. “Saya jawab terus terang, yakni aparat dari Angkatan Udara, Angkatan Laut, Darat, dan polisi. Saya juga pernah dapat konsumen asal Tanjung Pinang yang saat transaksi mengeluarkan revolver. Saya pikir akan ditangkap. Ternyata di dalam lubang peluru revolver dia menyembunyikan straits dollar (uang Singapura semasa penjajahan Inggris tahun 60-an).”
Meski menangguk untung besar, para tukang catut dollar yang waktu itu masih berusia muda tidak bijak dalam menyimpan penghasilan ratusan hingga ribuan rupiah per hari. Sebagai pembanding, harga sepiring nasi Padang waktu itu 3,5 rupiah.
Laba besar yang didapat dipakai berfoya-foya menonton bioskop di Globe Theater, Capitol Theater, dan segala jenis kesenangan yang bisa dinikmati generasi muda tahun 60-an.