Komunitas Hong - Pusat Kajian Mainan Rakyat
Didirikan pada tahun 2003 dan melakukan penelitian mainan sejak tahun 1996 komunitas mainan rakyat ini bertekad melestarikan mainan dan permainan rakyat.
Komunitas ini terdiri dari 150 anggota yang berasal dari masyarakat tingkatan usia dari mulai usia 6 tahun sampai usia 90 tahun kelompok anak adalah pelaku dalam permainan sedangkan untuk anggota dewasa adalah sebagai narasumber dan pembuat mainan
Komunitas mainan rakyat ini berusaha menggali dan merekonstruksi mainan rakyat baik itu dari tradisi lisan atau tulisan berupa naskah-naskah kuno dan berusaha memperkenalkan mainan rakyat dengan tujuan menanamkan sebuah pola pendidikan masyarakat buhun agar seorang anak mengenal dirinya,lingkungannya dan tuhannya
Dengan acuan pandangan tersebut maka Komunitas Hong sebagai Pusat Kajian mainan Rakyat mencoba untuk:
- Melestarikan produk mainan rakyat sebagi artefak budaya agar tidak punah dan tetap lestari.
- Melakukan binaan budaya bermain anak melalui pelatihan untuk anak-anak agar budaya bermain yang berbasis budaya lokal tetap bertahan.
- Mengembangkan produk mainan rakyat sebagai dasar pengembangan mainan anak yang ada untuk kebutuhan dalam dunia pendidikan.
Mengacu pada tujuan-tujuan tersebut, komunitas Hong menerapkan kegiatan-kegiatan, antara lain:
- Pembuatan Kampung kolecer, tempat melatih mainan dan permainan rakyat yang ada di Kampung Bolang, Desa Cibuluh Kec. Tanjungsiang Kab. Subang.
- Pendirian Musium Mainan Rakyat di Bandung mengangkat dan memperkenalkan mainan rakyat.
- Menyelenggarakan Festival Kolecer, yaitu festival mainan rakyat dengan berbagai upacara adat dalam pendidikan mainan
Hong - Pusat Kajian Mainan Rakyat
Pusat : Jl. Bukit Pakar Utara 35 Dago bandung Tel. 022-2515775
showroom : Jl. Merak 2 Bandung Tel.
Workshop: Kampung Kolecer, Kmp. Bolang desa Cibuluh
Kec. Tanjungsiang Kab. Subang Tel. 0260-480026
Link
Komunitas HONG
Komunitas Hong, Main Teruuus…
dari milis....
Inilah bahagianya hidup di desa. Apa saja bisa dijadikan kesenangan. Derasnya sungai, batang daun singkong, seluruh bagian kelapa, batang bambu, bulir padi, jerami, juga batang dan daun sawi selalu siap mendatangkan kegembiraan.
Hingga kini, masyarakat desa, baik anak-anak maupun dewasa masih bermain dengan perangkat sederhana dari alam. Permainan mereka beragam dan ternyata sangat seru sebab setiap orang yang ingin bermain bisa selalu bersama-sama dengan yang lain. Nyaris tak pernah kesepian.
Seperti Hidup Aab (45), buruh petani, warga Kampung Bolang, Desa Cibuluh, Kecamatan Tanjung Siang, Kabupaten Subang, setiap hari ia selalu saja didatangi anak-anak. Di dapur rumahnya yang sempit, anak-anak tak pernah tahu waktu berkata kepadanya, "Tolong, ajarkan bikin layang-layang, dong." Itu permintaan saat angin bergerak kencang sekitar Maret hingga Juli.
Di saat angin sering berembus cukup kencang seperti itu, banyak juga yang minta dibuatkan kolecer, mainan berbentuk baling-baling. Bentuk kolecer beraneka ragam. Anak-anak biasa meminta dibuatkan dari daun kelapa, remaja minta diajari membuat dari bambu, dan orang dewasa ingin bikin dari kayu dan ditancapkan di lahan mereka, seperti kebun, halaman rumah, atau sawah.
Maka, ketika angin datang dan kolecer berbunyi: wes-wes-wes. Orang-orang di desa pun bersorak sambil saling bertanya: "Kolecer saha eta? (kolecer siapa itu?)." Ah.., bangganya bisa menghaluskan dan menekuk kayu sedemikian rupa sehingga menghasilkan bunyi merdu yang membuat orang lain bergembira.
Kursus gratis
Kehidupan yang sukacita di kampungnya selalu membuat Muhamad Zaini Alif (31) ingin berbagi dengan masyarakat lainnya. Pada tahun 2003, sarjana dari Institut Teknologi Nasional (Itenas) yang menyelesaikan magisternya di Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk bidang desain produk dan mendalami produk mainan tradisional ini meneliti berbagai mainan tradisional di masyarakat Sunda bagian selatan.
Tahun 2005, Zaini yang kini tinggal di Bukit Pakar Utara, Dago, Kota Bandung, mulai tertarik membagikan kegembiraan ala kampungnya kepada warga di sekitar rumahnya yang berada di pinggir Taman Hutan Djuanda, Kota Bandung.
Awalnya, Zaini membuka kursus membatik dan menggambar gratis bagi anak-anak. Ada sekitar 10 anak di sekitar rumahnya yang ikut belajar. Setelah pelajaran selesai, Zaini sering mengajak mereka bermain mainan-mainan tradisional, seperti membuat nok-nok, mainan dari dua jeruk nipis yang diikat dengan tali sehingga susunannya menjadi jeruk-tali-jeruk. Pada bagian tengah tali dipegang oleh pemain sehingga kedua jeruk menggantung, lalu dientakkan, bertumbukan, dan menghasilkan bunyi "nok".
"Permainan sederhana itu ternyata disukai anak-anak dan mereka mulai menceritakan atau langsung membuat mainan yang masih mereka buat di rumah bersama teman- temannya," kata Zaini.
Seringnya bermain dengan anak-anak tersebut membuat Zaini membentuk komunitas bermain mainan tradisional bernama Komunitas Hong pada tahun 2005. Hong dalam bahasa Sunda dimaknai pertemuan dengan Tuhan. Namun, kata hong juga sering digunakan oleh anak-anak Sunda saat bertemu teman dalam suasana bermain.
Melalui Komunitas Hong, Zaini pun kemudian mempertemukan anak-anak kota yang menjadi anggota Komunitas Hong dengan orang-orang di kampungnya. Dari desanya, anggota Komunitas Hong lebih beragam, dari anak-anak hingga orang dewasa, sebab di desa mainan tak hanya milik anak-anak. Banyak jenis mainan yang bisa dibuat dan digunakan orang dewasa. Salah satu contohnya, kolecer. Tetapi, bagi orang dewasa, membantu atau
mengajari anak-anak membuat mainan juga sudah menjadi sebuah permainan. Sebab, saat mempersiapkan bahan mainan justru lebih seru. Orang harus mau masuk-keluar kebun, sawah, sungai, bahkan hutan.
Pameran mainan
Semua tempat, semua barang bisa menjadi mainan bagi setiap orang. Amin (10), anggota Komunitas Hong dari Kampung Bolang, menceritakan mainan favoritnya. "Saya mah suka main kecrik," kata Amin. Kecrik adalah sejenis jala kecil untuk menangkap ikan yang berukuran sekitar dua jari orang dewasa.
Kalau mandi di sungai, tak lupa ia membawa jaring dari benang kenur dan melemparkannya di bagian sungai paling pinggir, lalu menanti ikan-ikan terjerat. Akhirnya, pulang mandi, Amin bisa membakar tiga atau empat potong ikan. Nyam.., nyam….
Sementara itu, Wawan (12) senang main gogolekan atau wayang-wayangan. Ia bisa membuat wayang dari jerami, batang daun singkong, atau dari batang padi dengan seni melipat-lipat tali yang dikuasainya.
Hampir setiap bulan Komunitas Hong mengikuti pameran mainan di Kota Bandung. Biasanya mereka memamerkan mainan tersebut di mal-mal. Seminggu sebelum berpameran, biasanya anggota Komunitas Hong sudah siap membuat mainan baru karena mainan yang pernah dibuat selalu habis dimintai atau dibeli oleh para pengunjung pameran sebelumnya. Buat anggota Komunitas Hong, tidak ada mainan yang sulit dibuat. Jadi, mereka tak pernah
bersusah hati saat mengajarkan atau memberikan hasil kerjanya kepada orang lain.
"Saya paling senang membuatkan mainan untuk teman- teman," kata Wawan yang sering mengajari para pengunjung pada pameran mainan untuk membuat mainan sederhana.
Anak-anak desa sangat terampil membuat mainan, tetapi mereka sulit menjelaskannya kepada orang lain karena kendala bahasa. Biasanya mereka lebih sering menggunakan bahasa daerah daripada bahasa Indonesia. Itu sebabnya dalam setiap pameran, Komunitas Hong membagi tugas sesuai dengan kemampuan mereka. Orang dari desa membuat mainan dan orang kota menjelaskan proses pembuatan tersebut sehingga pengunjung merasa paham.
Namun, jika saat bermain tiba, semua orang seperti lupa diri. Tidak ada lagi orang desa dan kota.