“Sekarang kok sampeyan (anda) berhenti jadi kontraktor, kenapa kang?” tanya ane pada suatu sore pada seorang mantan kontraktor sukses,
“Waduh , jadi kontraktor susah makan harta halal. Lagian harus sabar bergaul bareng tikus-tikus tengik, manusia iblis murahan, dan kaum bejad,” demikian jawabnya.
“Weh, kok bisa begitu. Lha yang saya lihat, mereka itu malah bisa gaul sama pejabat, manager perusahaan, dekat sama walikota, bupati, camat dan pejabat-pejabat terhormat,” ane pun menimpali.
“Itu tampak luarnya aja…. Cuman kamuflase thok. Dari luarnya memang seger. Tapi dalemnya bosok, mambu, dan mbikin orang sehat bisa muntah hebat, ” katanya.
Lhadalah, ane mangkin tertarik saja mengikuti obrolan itu. Pingin tahu, ada apa dengan kehidupan para kontraktor proyek yang biasanya kaya raya dan borju itu.
“Coba ente pikir, itu para bupati yang kalo lewat orang kontraktor dan sebangsanya jalannya munduk-munduk (berjalan seraya sedikit membongkokkan badan tanda hormat) pada mereka, yang mundhuk-mundhuk itu tertipu. Pejabat-pejabat itu harganya murah. Bayangin, buat nge-golin satu proyek, kok ya mau-maunya mereka itu saya sogok murah. Lha gimana gak murah, wong mereka itu harga sogokannya cuma senilai uang yang saya habiskan di bar semalem jeee…” kata mantan kontraktor itu mulai bercerita.
“Weh, gitu ya? Lha apa semuanya kayak gitu tho?” tanya ane pingin tahu.
“Pemegang kebijakan waktu itu pasti begitu. Sogokannya macem-macem lagi. Yang lucu itu manager proyek yang namanya si Panuroto itu. Itu manager galak tapi paling takut sama istri. Saya pernah gol kontrak proyek sama dia hanya gara-gara urusan sepele…” katanya sambil senyum setengah tertawa.
“Apa itu?” tanya ane.
“Dia bilang, kalo saya bisa melepaskan jeratan isterinya maka dia kasih kontrak proyek itu ke saya. Ya malem itu juga saya pergi ke rumahnya bertamu. Saya bilang sama dia dengan agak kenceng, agar isterinya denger, bahwa si Panuroto itu dipanggil meeting sama pak pejabat malam itu juga. Pokoknya urusan dadakan dan penting. Ya sudah, dengan restu isterinya si Nyai Gudig Lukito, pergilah denmas Panuroto itu bareng saya. Di pertigaan jalan kami berpisah. Saya pulang bawa kontrak proyek, si Panuroto ndugem sampai berhari-hari dengan sejahtera adil makmur sentosa.” :
“Welhadalah, ha kok sepele temen rek…” sahut ane
.
“Itulah, saya muak sama pekerjaan itu. Bukan ini yang saya cari dalam hidup. Duit memang banyak saat itu. Saya sampek bingung, buat apa ini duit. Kekuasaan juga ada. Itu si bupati wilayah Jowo Kulon itu disanjung-sanjung bak orang terhormat. Tapi kalo sudah di ruangan bareng saya, kaki saya bisa saya taruh di meja dia. Kadang kupingnya saya jewer-jewer kalo ada yang gak beres, saya tuding-tuding wajahnya, saya bentaki diem saja tuh orang. Wis lah, sudah tak beli semua pejabat-pejabat bejad itu. Lagian murah sih,” katanya santai.
“Lha apa semua kontraktor proyek kayak gitu bang?” tanya simbah lagi.
“Kalo mau sukses ambil kerja besar dan cepet kaya harus gitu. Sogok itu hukumnya wajib. Sudahlah, saya lebih suka jadi pengusaha kecil-kecilan kayak sekarang ini. Duit pas-pasan tapi hati tentrem.”
Ane banyak mengambil manfaat dari percakapan sore itu. Percakapan itu asli adanya, tentunya dengan sedikit ane edit sana sini. Ternyata dunia ini rimbaraya hung liwang liwung. Isinya manusia yang bermutasi jadi iblis, jin ifrit, banaspati, demit, semuanya serakah, malak, dan tamak. Beberapa manusia masih murni manusia, tapi mangkin terpinggirkan. Cuman sedikit orang yang cuman dapet sepiring kecil barang halal, namun menentramkan. Sedangkan yang lain, mencari ketentraman di balik kerakusannya pada harta dan isi dunia yang sudah tua.
Seorang Pujangga bilang, dunia ini ibarat wanita yang yang tua umurnya. Cuma dia itu pandai bersolek. Lha pemuda-pemuda culun berbekal napsu rakus banyak yang kepincut sama mbah jompo yang bersembunyi dibalik make up tebal itu. Semua rebutan. Semua ngantri jadi korban. Setelah mati, cuma diuyuhi sama mbah jompo itu dengan tanah urugan 2×1 meter sedalam 2 meter. ::