NY.H. AGUS SALIM; MENDIDIK LEWAT DONGENG
Wanita ini memang tidak berjuang mengangkat senjata secara terang-terangan. Tapi dengan pendidikan khasnya, anak-anaknya bisa diantar menjadi “orang”. Bahkan, berkat dialah suaminya bisa kuat berjuang.
Banyak orang tua, terutama para ibu jadi sibuk kalau anak-anak mereka mendapat liburan sekolah. “Wah, kegiatan apa yang baik untuk mengisi liburan mereka?” atau “Mau diajak kemana anak-anak?” adalah pertanyaan yang sering kali terlontar. Padahal liburan sekolah datangnya bisa diprediksi, sehingga orang tua sebetulnya tidak perlu terlalu repot memikirkannya karena jauh-jauh hari sudah bisa membuat rencana. Mungkin kerepotan di atas belum sepersekiannya dari kerepotan seorang ibu yang mengajar delapan anaknya sendiri tanpa memasukkan mereka ke sekolah formal.
Zainatun Nahar binti Almatsier Sutan Pamoentjak mungkin tidak anda kenal. Tapi, dialah “bara” di balik keberhasilan perjuangan seorang pria berkharisma bernama besar: H Agus Salim!
Waktu dipersunting H.Agus Salim yang masih sepupunya pada tanggal 12 Agustus 1912, wanita berusia 19 tahun itu sudah diberitahu oleh suaminya bahwa anak mereka kelak tidak akan dimasukkan ke sekolah formal biasa. Soalnya, H Agus Salim menganggap pendidikan saat itu sebagai sistem pendidikan kolonial. Ia tidak mau anak-anaknya dicekoki indoktrinasi kolonial. Selain itu, ia melihat berbagai ketidakadilan, seperti pemberian angka yang lebih rendah bagi pribumi meskipun kemampuan orang pribumi itu sama dengan orang belanda.
Maka dari itu mereka berdua sepakat untuk mendidik anak mereka sendiri. Meskipun pada praktiknya peran Maatje, panggilan sayang untuk Ibu H Agus Salim yang artinya Ibu saying, mengambil alih sebagian besar porsi pendidikan tersebut, karena H Agus Salim yang aktif dalam pergerakan harus sering berpergian.
Lewat dongeng
Wanita yang memperoleh pendidikan formal hanya sampai usia 12 tahun ini setidaknya menangani sendiri 7 dari delapan anaknya. Anaknya yang terkecil, Sidik, mengenyam pendidikan formal, karena saat itu Indonesia telah merdeka
Menurut putrinya, Siti Asia atau Bibsy Soenharjo, seluruh anak H Agus Salim jumlahnya 10 orang, namun dua orang meninggal ketika masih balita. Kedelapan putra-putri yang masih ada inilah yang dibimbing oleh Maatje dan Paatje (panggilan untuk H Agus Salim) sendiri.
Namun, pendidikan yang diberikan itu tidak seperti yang dibayangkan orang. Mereka tidak pernah mengenal adanya jam pelajaran berhitung atau membaca dan menulis. Semuanya diberikan tanpa mereka sadari, begitu saja seperti kehidupan keluarga sehari-hari. Pelajaran pun tidak terikat waktu, karena anak-anak berbeda usianya. Jadi, Maatje mendidik mereka seolah-olah tanpa henti, 24 jam penuh!
Maatje akan melihat anak-anak sedang mengerjakan apa. Kalau sedang membaca, ia tidak akan mengusiknya. Ia paling tidak suka melihat anak-anaknya kelihatan duduk melamun. Ada saja yang dimintanya untuk dikerjakan anak-anak. Perhatiannya selalu diarahkan untuk mengawasi kegiatan mereka.
Sementara pelajaran pun diberikan seperti sambil main-main. Maatje suka sekali berpantun, menyanyi dan bercerita. Pantun, nyanyian, dan ceritanya disampaikan dalam berbagai bahasa, Minang, Melayu, belanda, atau inggris. Tapi yang paling sering dalam Bahasa belanda, bahasa yang umumnya dipakai pada zaman itu. Selain itu Paatje memang sengaja membiasakan mereka berbahasa belanda agar anak-anaknya tidak merasa minder jika bergaul dengan anak-anak lain.
Menurut putrinya yang lahir pada tahun 1939 ini, Maatje memang pandai mendongeng. Jika ia mendongeng, anak-anak tak bosan-bosannya mendengarkan. “Waktu sudah bisa membaca, saya begitu ingin membaca sendiri dongeng-dongeng yang pernah diceritakan Maatje. Tetapi, ternyata dongeng-dongeng itu tidak sehidup seperti kalau dibawakan oleh Maatje,” kenang sang putri
Putri nomor delapan yang telah memberinya cucu tiga orang ini pun hanya ingat dipanggil pertama kali untuk belajar berhitung, membaca, dan menulis ketika ia berusia 6 tahun. Umur segitu katanya termasuk terlambat. Karena kakak-kakaknya lebih muda lagi belajarnya. Bahkan J. Taufik, anak kedua, sudah bisa menyusun kata dengan baik di puzzle pada usia 4 tahun
Pelajaran pun diberikan di beranda rumah dan mulai hari itu ia diajari secara sungguhan. Meskipun sebelumnya, ia sudah dikenalkan dengan huruf lewat buku-buku abjad berbahasa belanda, atau belajar menghitung saat main congklak.
Lewat sang bunda inilah anak-anak diberi kemampuan dasar berhitung, menulis, membaca, serta dasar-dasar agama Islam. Namun, untuk hal-hal selanjutnya mereka mencari dari buku. Dalam keluarga H Agus Salim, buku merupakan jendela ilmu pengetahuan.
Selain itu, anak-anak dibiarkan mengembangkan minat mereka sendiri dan diikutsertakan dalam seluruh kegiatan di rumah.
Theodora Atia misalnya, anak tertua yang tak tahan asap, bertanggung jawab dalam soal jahit-menjahit pakaian seluruh keluarga. Tapi, Theodora juga suka bergaul dengan teman-teman sebaya, bahkan menyanyikan Indonesia Raya pada hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Karena tubuhnya kecil, ia terpaksa naik di atas kursi. J. Taufik berminat sekali pada matematika dan suka sekali membaca. Adiknya, Violet, bertugas memasak, sementara Maria Zenobia bertugas membersihkan rumah. Anak-anak juga masuk kepanduan Natipij (National Islamietische Padvinderij).
Tidak ada “anak nakal”
Konon, keluarga ini mentradisikan turutnya anak-anak menyambut tamu. Anak-anak juga bebas berdiskusi. Tentu saja mereka tak luput dari kesalahan sehingga mendapat teguran. Tapi, Maatje tidak pernah kehilangan kendali emosi. Ia tidak pernah menyebut “anak nakal”, tetapi sebagai gantinya “anak tidak manis”. Tidak ada bentakan atau omelan.
Kemarahan orang tua bukan sebagai pelampiasan hawa nafsu, tapi untuk memperbaiki kelakuan anak. Jadi, kalau anak berbuat salah, sehingga menimbulkan amarah orang tua, redakan dulu perasaan marah orang tua. Pikirkanlah cara terbaik untuk memperbaikinya. Itulah falsafah yang diajarkan H Agus Salim yang dijalankan juga oleh istrinya.
Kalau bicara soal pendidikan, tentu orang akan mempertanyakan hasilnya. Paling tidak, apakah anak-anak yang dididik dengan cara di atas dapat hidup layak atau tidak.
Ternyata, putri kedelapannya, bisa bekerja di sebuah perusahaan asuransi sebelum menikah dengan Soenharjo, mantan konsul di Jepang. Bahkan setelah suaminya meninggal, pada usia 38 tahun, ia bisa bekerja kembali di perusahaan asing dengan penghasilan yang cukup. Sementara putri tertuanya Theodora Atia, aktif dalam gerakan Wanita Islam dan organisasi Lembaga Indonesia Amerika. Sedangkan Taufik Salim pernah bekerja pada Inter Vista, sebuah biro iklan, dan kini (tahun 1994) sibuk sebagai penerjemah. Putri ketiganya, Violet, menjadi ibu rumah tangga di Yogya. Sedangkan Islam Salim berkecimpung di ketentaraan dengan pangkat kolonel dan pernah menjabat sebagai atase militer di RRC. Sidik Salim (si bungsu), yang ikut sekolah formal setelah dites masuk kelas II SMP, bekerja di Bank of America.
Setidaknya, anak-anak bimbingan Maatje yang lembut dan necis ini dapat menghidupi keluarga mereka dengan baik. Cucunya, Maryam Soedjono, putri dari anak tertuanya, merasa heran bagaimana Oma-nya bisa sampai mengantarkan anak-anaknya sedemikian rupa, sehingga mereka semua menjadi “orang”. Dengan pendidikan yang sebegitu saja, anak-anak H Agus Salim bisa mencapai kedudukan yang sekarang. Bagaimanakah kalau mereka sekolah formal dan memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi. Pasti lebih hebat lagi hasilnya.
Namun, penerapan pendidikan macam di atas saat itu mungkin memang cocok dengan situasi dan zamannya, demikian diungkapkan oleh Bibsy. Ia sendiri sebagai produk pendidikan di atas tidak mendidik putra-putrinya sendiri seperti sang ibu. “Saya tidak setelaten Maatje,” ungkapnya. Menurut Maryam, situasinya memang berbeda.
Tapi, menyesalkah anak-anak Maatje tidak masuk sekolah seperti anak-anak lain? Bibsy Soenharjo merasa tidak pernah menyesali dirinya. Ia tidak pernah merasa kurang dibandingkan dengan rekan sebayanya. Ia sempat ikut tes untuk bisa ujian pelengkap SMA di Budi Utomo dengan hasil yang cukup baik. Cuma ia mengakui bahwa dalam dirinya ada satu hal yang hilang: tidak ada ambisi untuk bersaing. Selain itu jika mereka mengerjakan sesuatu tidak pernah memikirkan untuk mendapatkan pujian. Yang terutama ada dalam pikiran hanyalah bagaimana sesuatu bisa dikerjakan dengan baik. Tampaknya menguasai suatu ilmu lebih ditekankan dibandingkan dengan mengejar nilai.
Dari pengalaman anak-anak H Agus Salim mungkin kita dapat menarik hikmahnya juga. Jika seseorang tak dapat meneruskan sekolah, itu tidak berarti dunia berhenti. Setidaknya kita masih bisa mencari ilmu lewat bacaan-bacaan yang ada. Jadi, bagi anak-anak yang putus sekolah, janganlah lekas putus asa.(I Gede Agung Yudana/Anglingsari s.)
Sumber: Intisari No. 369 April 1994