Jika puasa mengajak mereka yang kenyang untuk merasakan lapar, maka kurban mengajak mereka yang lapar untuk merasakan kenyang. Itulah yang menjadi spirit utama dalam Hari Raya Kurban. Betapa sering kita kenyang, sementara tetangga kita merintih kelaparan.
Kita tahu, qurban (bahasa Arab) berarti pendekatan. Dosa telah menjauhkan manusia dari Tuhan. Maka, melakukan kurban adalah melakukan sesuatu demi mendekatkan diri kepada Tuhan. "Maka shalatlah kamu dan berkurbanlah,” demikian firman Allah (Qs Al-Kautsar : 2).
Dalam kehidupan nyata, melaksanakan kurban dapat diartikan melakukan tindakan yang mulia, tanpa tertipu kesenangan dunia yang sementara. Prof Dr Nurcholish Madjid pernah mengatakan, makna berkurban ialah kita sanggup menunda kenikmatan sesaat demi kebahagiaan yang kekal dan abadi (Nurcholish Madjid : 1997).
Maka, kesediaan berkurban adalah bukti keimanan, kecintaan, dan kepasrahan total seorang hamba kepada Tuhannya. Kurban juga mengingatkan manusia bahwa jalan menuju kebahagiaan senantiasa menuntut pengorbanan.
Kurban telah dilakukan Qabil dan Habil (kedua putra Adam) dengan mempersembahkan tumbuh-tumbuhan dan domba kepada Allah (Qs Al-Maidah : 27). Sejarah juga mencatat, penduduk Meksiko mempersembahkan jantung dan darah manusia untuk Dewa Matahari demi kesinambungan cahaya sang dewa.
Orang-orang Viking di Skandinavia mempersembahkan pemuka agama mereka untuk Odin (Dewa Perang) dengan tujuan menghapus dosa. Suku Kan'an di Irak mempersembahkan bayi untuk Dewa Ba'al. Sedangkan penduduk Mesir mempersembahkan gadis cantik untuk Dewa Sungai Nil (Quraish Shihab : 2002).
:
Kitapun diam seribu bahasa saat melihat orang yang tertimpa musibah menangis sendirian. Parahnya lagi, kita bahkan bergembira di atas penderitaan sesama. Kita tersenyum bangga saat berhasil menipu mereka yang lemah, merampas tanah mereka yang papa, dan menindas buruh yang tidak berdaya. Sungguh, kita jauh dari nilai-nilai agama. Bagaimana mungkin kita memperoleh kedekatan dengan Tuhan sementara tangan kita berlumuran dosa.
Dari sinilah, perintah kurban seyogianya tidak berhenti setelah penyembelihan dan pembagian daging hewan semata. Spirit kurban harus dikembangkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Hewan yang disembelih, hakikatnya, sebagai pertanda bahwa yang dikurbankan adalah sifat-sifat kebinatangan manusia. Sebab, "manusia adalah hewan yang berakal", demikian kata Aristoteles.
Padahal, nilai kehidupan manusia sungguh ditentukan oleh kesanggupannya untuk berkurban. Semakin besar nilai pengorbanan manusia, semakin tinggi pula nilai hidupnya di mata Tuhan dan sesama. Manusia yang tidak pernah sanggup berkurban untuk sesama akan menjadi manusia yang rakus, serakah, dan korup.
Singkat kata, kehidupan tanpa pengorbanan adalah kehidupan yang hampa dan sia-sia. Karena itu, Islam tegas mengajarkan keseimbangan hubungan vertikal dan horizontal. Artinya, setiap ibadah yang dilakukan manusia harus mendatangkan imbas kebaikan kepada sesamanya.
Maka, Idul Adha diharapkan mampu meneguhkan semangat berkurban dalam kehidupan yang lebih nyata. Manusia yang tercerahkan adalah mereka yang taat beribadah, tetapi juga mampu melakukan kebajikan sosial sebagai wujud tanggungjawab antar-manusia. Kebajikan sosial itu bisa berupa apa saja: harta, tenaga, dan fikiran. Yang terpenting harus dilatari dengan cara yang benar dan hati yang ikhlas. Tanpa kedua syarat itu, tindakan apapun tidak akan berarti apa-apa di hadapan Allah.
M Husnaini (surya.co.id)
Sayangnya, makna kurban sekarang ini lebih banyak bergeser kepada prinsip ekonomi. Banyak orang ber-"kurban" harta untuk mendapatkan jabatan, seperti Cagub, Cawali, Cabup, caleg dan calo politik....
Ada yg berkurban untuk mendapatkan pemeluk/pengikut agama baru, aliran kepercayaan baru, simpatisan baru, dsb. Ternyata kurban juga menyentuh sisi religi.....
Bahkan banyak yg berkurban (waktu) hanya untuk mencuri perhatian orang lain......