Lagu tiga bait itu ditulis Charles Crozart Converse, 1868, komposer asal Amerika Serikat, 1832-1918. Syair asli 'What a friend we have in Jesus', ditulis oleh Joseph Medlicott Scriven, 1855. Yayasan Musik Gereja kemudian menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia pada 1975, dan kemudian menjadi lagu rohani kristen di Indonesia.
Aransemen paduan suara standar diambil dari Hymns of the Christian Life, 1936. Lagu ini pendek, hanya 16 bar, 4/4, moderato , F = do. Tata suara sederhana saja sehingga sangat mudah dinyanyikan. Dalam dunia paduan suara, masuk kategori A: sangat mudah, tidak perlu latihan lama-lama. Anak-anak sekolah dasar pun bisa.
Lalu, bagaimana pula dengan lagu Kulihat Ibu Pertiwi yang sangat terkenal di Indonesia itu? Siapa yang menulis syair dan musiknya? Saya sudah memeriksa beberapa buku kumpulan lagu nasional, termasuk terbitan Musika, Jakarta.
Ada memang Kulihat Ibu Pertiwi. Tapi tidak ada informasi apa pun tentang nama penulis lagu dan lirik. Hanya ditulis N.N. = no name atawa anonim. Jangan heran, orang Indonesia tidak pernah tahu asal-muasal lagu tersebut. Dan memang sejak dulu orang Indonesia kurang memperhatikan 'hak cipta', tak begitu gubris nama pengarang lagu. Praktik bajak-membajak, jiplak-menjiplak, malah menjadi 'tradisi' di industri musik rekaman Indonesia.
Berdasar data-data di KIDUNG JEMAAT, juga beberapa buku nyanyian gerejawi lainnya , saya akhirnya menyimpulkan bahwa lagu Kulihat Ibu Pertiwi itu IDENTIK dengan What a Friend We Have in Jesus karya Charles Crozart Converse asal Amerika Serikat pada 1868. Melodinya 100 persen sama.
Saya menduga, melodi khas nyanyian gerejawi internasional itu kemudian diadopsi oleh seorang komposer atau guru musik atau siapa saja yang punya hubungan dengan pendidikan musik di sekolah dasar atau sekolah menengah di Indonesia. Besar kemungkinan orang itu beragama Kristen, atau setidaknya akrab dengan melodi karya Charles Crozat Converse.
Mungkin, karena terkesan dengan melodi nan indah, ia memasukkan kata-kata baru bertema kepedihan Ibu Pertiwi , dibukukan, diajarkan kepada anak-anak sekolah. Maka, orang Indonesia pun terbiasa dengan 'lagu nasional' Kulihat Ibu Pertiwi.
Beberapa tahun lalu, Pak Markus Sajogo pernah mencoba mengusut siapa gerangan penulis lirik Kulihat Ibu Pertiwi, yang meminjam melodi karya Converse, 1868. Tapi hasilnya belum jelas.
Sekali lagi, saya menduga-duga, orang yang kreatif itu niscaya komposer berlatar belakang Kristen Protestan karena buku-buku nyanyian Katolik yang pernah beredar di Indonesia tak pernah memuatnya. Sebaliknya, hampir semua buku nyanyian Protestan memuatnya.
Sebagai catatan, lagu-lagu nasional atau lagu wajib atau apa pun namanya mengikuti pola strofik di kidung-kidung kristiani yang diwariskan misionaris Barat, entah itu Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Swiss. Ini bisa dipahami karena pengarang lagu-lagu nasional kita banyak yang beragama nasrani, khususnya Protestan dari gereja-gereja arus utama.
Sebut saja Liberti Manik, Binsar Sitompul, Cornel Simanjuntak, Subronto Kusumo Atmojo, F.X. Sutopo, Frans Haryadi, N. Simanungkalit, dan seabrek nama terkenal lainnya. Mereka ini berlatar belakang sekolah musik gerejawi, setidaknya berguru pada pemusik-pemusik klasik Barat. Dirasa Indonesia membutuhkan banyak lagu-lagu nasional, maka jalan termudah, ya, mengikuti pola nyanyian strofik gereja yang sudah ada.
Bagi saya, 'pinjam-meminjam melodi' sudah lazim dalam dunia musik. Bukankah lagu-lagu gerejawi, khususnya pasca-Reformasi Martin Luther, menggunakan melodi lagu-lagu rakyat di Eropa? Setelah diberi syair baru, syair kristiani, jadilah lagu gerejawi, puji-pujian kepada Tuhan.
Jangan lupa, Misa Dolo-Dolo yang sangat tekenal di Gereja Katolik Indonesia menggunakan melodi lagu rakyat Lamaholot di kampung saya, Flores Timur. Oleh Pak Mateus Wari Weruin, komponis musik liturgi, bahan dasar dari kampung ini diolah menjadi ordinarium misa bernuansa Flores Timur. Pola macam ini pun masih dilakukan Pusat Musik Liturgi, Jogjakarta, saat menggelar lokakarya musik liturgi di berbagai daerah di Indonesia.
Kembali ke Kulihat Ibu Pertiwi. Lagu ini sudah telanjur terkenal di Indonesia, syairnya sangat menyentuh orang Indonesia, apa pun agama, etnis, suku, latar belakangnya. Bahwa dia meminjam melodi karya Charles Crozat Converse bukan masalah. Persoalannya, sejak dulu guru-guru musik serta penerbit buku nyanyian di Indonesia alpa mencantumkan nama penulis melodi dan penulis lirik/syair.
Mudah-mudahan di era copyright ini, sebaiknya penerbit Indonesia merevisi buku nyanyian anak sekolah dengan menyertakan nama penulis lagu, Charles Crozat Converse, serta penulis lirik versi Indonesia.
Harus diakui, sejak dulu orang Indonesia malas mencari data dan informasi, sehingga dengan gampang menulis N.N. Ingat-ingat pesan Bung Karno:
"Janganlah kita menjadi bangsa penjiplak, a copy nation!"
Posted by Lambertus L. Hurek
http://hurek.blogspot.com/2007/08/tenta ... rtiwi.html