ane tambahin lagi ya gaan....soalnya masuk bahan kuliah memandu ane niiih... wekekekeke...
jakarta itu ternyata sangat panjang sejarahnya...
Pembantaian Etnis Tionghoa di Batavia
Kekejaman bangsa Belanda tidak hanya dirasakan oleh
rakyat jajahannya atau pesaing-pesaing mereka dari
Eropa saja, melainkan juga dirasakan oleh etnis
Tionghoa yang ada di Batavia, sebagaimana dilakukan
oleh Adriaen Valckenier, Gubernur Jenderal India
Belanda tahun 1737 - 1741. Selain melanjutkan budaya
korupsi dan penindasan serta eksploitasi rakyat
jajahannya, Valckenier memandang, peningkatan yang
sangat pesat jumlah orang Tionghoa di Batavia dan
sekitarnya sebagai ancaman bagi orang Belanda.
Pada mulanya Belanda mendatangkan orang-orang Tionghoa
dari Cina ke India Belanda terutama untuk menjadi kuli
di perkebunan. Namun banyak dari mereka yang berhasil
menjadi pedagang, pengusaha dan rentenir, dengan
kedudukan sebagai lapisan menengah yang berfungsi
sebagai perantara antara orang Eropa dan pribumi.
Sekitar tahun 1690, penguasa VOC mulai mencoba
membatasi masuknya orang Tionghoa ke Batavia, namun
tidak berhasil, karena adanya kolusi antara para
pengusaha yang terus mendatangkan kuli dari Cina dan
pejabat administrasi VOC yang menerima suap. Para
pengusaha Belanda juga memperoleh manfaat dengan
adanya kuli murah, rajin dan patuh, dibandingkan
dengan pribumi yang sering membangkang, melawan dan
bahkan melakukan pemberontakan.
Namun, lama kelamaan jumlah mereka semakin meningkat
dan mencapai puluhan ribu orang. Menjelang tahun 1740,
separuh penduduk di Batavia dan sekitarnya adalah
orang Tionghoa. Mereka juga telah menguasai berbagai
bidang ekonomi dan usaha, yang menjadi ancaman bagi
orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Dengan adanya
pesaing etnis Tionghoa, keuntungan mereka menjadi
sangat berkurang. Salah satu bidang usaha yang
dikuasai oleh etnis Tionghoa adalah perkebunan tebu di
sekitar Batavia.
Tahun 1720, pasar gula mengalami kemerosotan karena
selain adanya persaingan dari Brasilia yang menjual
gula lebih murah, juga pasar di Eropa telah jenuh.
Puluhan pedagang gula mengalami kebangkrutan dan harus
memberhentikan kuli-kuli mereka dari Cina.
Pengangguran besar-besaran yang mendadak ini
memunculkan kelompok-kelompok yang menjurus kepada
gang (komplotan) kriminal. Gang-gang tersebut juga
tidak segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan,
sehingga menimbulkan keresahan di kalangan orang-orang
Belanda dan Eropa lainnya.
Para penguaasa VOC kemudian mulai mengambil
langkah-langkah untuk mengatasi hal ini, dengan
mendeportasi kuli-kuli dari Cina tersebut ke Ceylon
dan Afrika Selatan, yang juga koloni VOC waktu itu.
Deportasi dengan kapal laut ini dimulai bulan Juli
1740. Tak lama setelah dimulainya deportasi tersebut,
muncul desas-desus, bahwa kuli-kuli itu dibunuh dan
kemudian dilemparkan ke laut. Terpancing dengan isu
tersebut, banyak kuli Tionghoa mempersenjatai diri
mereka dan mulai mengadakan perlawanan, dan bahkan
merencanakan akan menyerang Batavia. Tanggal 8 Oktober
malam, suasana di Batavia sangat mencekam, karena
diberitakan, bahwa orang-orang Tionghoa di dalam kota
Batavia akan bergabung dengan warga Tionghoa dari
sekitar Batavia.
Pada 9 Oktober 1740 Gubernur Jenderal Valckenier
mengeluarkan perintah untuk menggeledah 5.000 keluarga
Tionghoa yang tinggal di lingkungan benteng Batavia
dan sekitarnya. Namun yang terjadi selama 3 hari
kemudian adalah pembantaian terhadap semua orang
Tionghoa di Batavia. Setiap orang Tionghoa yang
ditemui langsung dibunuh, dan bahkan yang berada di
rumah sakit juga dibantai. (lihat: Seemann, Heinrich,
Spuren einer Freundschaft. Deutsch - Indonesische
Beziehungen vom 16. bis 19. Jahrhundert. Cipta Loka
Caraka, Jakarta, 2000. hlm. 47. Dr. Heinrich Seeman
adalah Duta Besar RF Jerman di Indonesia tahun 1995 -
2000).
Georg Bernhard Schwarz, seorang Jerman yang berasal
dari Remstal, dekat Stuttgart, Jerman, pada 1751 dalam
tulisan yang diterbitkan di Heilbronn, Jerman, dengan
judul "Merkw�rdigkeiten" menuturkan pengalamannya
ketika ia ikut dalam pembantaian etnis Tionghoa di
Batavia. Ia menuliskan, bahwa ia ikut membunuh orang
Tionghoa beserta seluruh keluarganya, yang adalah
tetangganya sendiri, walaupun mereka sebenarnya adalah
kenalan baik dan tidak mempunyai masalah pribadi satu
dengan lainnya.
Diperkirakan sekitar 24.000 orang (Sumber lain
menyebutkan, yang tewas hanya sekitar 10.000 orang.)
etnis Tionghoa yang tewas dibantai oleh orang-orang
Belanda dan Eropa lainnya pada bulan Oktober 1740.
Dari sisa yang hidup, banyak yang melarikan diri ke
Jawa Tengah dan bergabung dengan kelompok pemberontak
di bawah pimpinan Raden Mas Said. Mereka kemudian
menyerang pos pertahanan Belanda di Semarang dan
Rembang. Sebagian lagi melarikan diri ke Kalimantan
Barat dan kemudian bergabung dengan Republik Lan Fang.
Gubernur Jenderal Valckenier dan Wakil Gubernur
Jenderal Baron von Imhoff saling menyalahkan atas
terjadinya genocide tersebut. Valckenier sendiri
kemudian dipanggil pulang untuk diperiksa, namun ia
meninggal ketika dalam tahanan. Setelah Valckenier
dipanggil pulang tahun 1741, jabatan Gubernur Jendral
untuk sementara dipegang oleh Johannes Thedens,
sebelum diganti oleh Gustaf Wilhelm Baron van Imhoff
(1743 - 1750), yang adalah orang Jerman. Masalah
pembantaian etnis Tionghoa yang sangat mencoreng wajah
Belanda, berhasil ditutup-tutupi dan kemudian hilang
begitu saja. Tak ada satu orang pun dari pelaku
pembantaian yang dimajukan ke pengadilan.
Batara R. Hutagalung
Jakarta, 10 Mei 2005.
semoga wawasan kita bertambah..... :