chapt. 2 Demi Tugas, Anak dan Istri Aku Tinggalkan
WING Day merupakan suatu upacara yang dinanti-nanti penerjun, selain sebagai upacara penutupan pelatihan, juga untuk memperoleh brevet wing sebagai penerjun. Penerjunan terakhir yang selain akan menentukan memiliki wing atau tidak, sangatlah menentukan. Kaki kanan diempaskan dari pintu pesawat kemudian melayang beberapa saat, menantikan payung mengembang. "Aku tulus, aku punya wing," bisikku dalam hati, sekalipun belum menginjakkan kaki ke tanah. Aku selamat dan cepat-cepat payung kugulung, selanjutnya melaporkan diri kepada perwira dropping zone.
Belum juga sampai ke tujuan, aku sudah dihadang petugas piket yang memberitahukan bahwa aku ditunggu wakil batalyon. Payung aku serahkan tanpa laporan lagi dan langsung menghadap Wakil Komandan Batalyon, Kapten Ngoediono.
"Saya dipanggil, Pak?" tanyaku.
"Naik jip," perintahnya pendek sambil menunjuk ke arah mobilnya. Aku langsung menuju kendaraan, di sana aku dapati Pratu Adang yang juga baru menyelesaikan penerjunan.
Kami berdua tidak sempat mengikuti upacara penyematan wing. Ada semacam kekecewaan di antara kami berdua, tetapi apa daya prajurit tetap prajurit, yang harus senantiasa mengikuti dan mematuhi perintah atasan. Sewaktu kendaraan akan bergerak terdengar suara teriakan, "Wing, wing, ini wingmu!" Kendaraan berhenti dan kami berdua menerima wing tersebut di atas kendaraan. Entah apa yang memengaruhi kami berdua, hingga kami tidak menyematkan wing itu, tetapi langsung kami masukkan ke dalam saku jaket.
Kendaraan melaju kencang meninggalkan Batujajar menuju markas batalyon. "Ini alat-alat perlengkapan sudah disiapkan," kata Komandan Peleton Perhubungan, Peltu Hidayat kepadaku. Sejenak aku tertegun heran karena perlengkapan yang aku pakai ini baru satu bulan aku terima, kini ada lagi.
"Perlengkapan apa, Pak?" tanyaku.
"Untuk latihan terjun malam di Jakarta," jawabnya.
Hatiku meronta menyatakan menentang perintah itu, tetapi mulutku terkatup. Sejak selesai latihan, aku sudah diliputi keinginan menjenguk istri yang aku tinggalkan dan baru melahirkan tanpa aku berada di dekatnya. Kini sudah mendapat perintah baru lagi, rencanaku hancur sama sekali dan menimbulkan rasa tidak puas. Melihat perlengkapan yang diberikan ada kesan yang mencurigakan, karena perlengkapan dilengkapi dengan
sabun, sikat gigi, dan pastanya. Ini semua di luar dari kebiasaan.
"Saya belum diberi istirahat latihan," kataku kepada komandan. Biasanya setelah selesai latihan diberi istirahat, tapi kali ini lain.
"Tidak ada lagi yang dapat ditunjuk kecuali kamu," jawab komandan. Hal ini tidak bisa dibantah lagi, karena sifatnya perintah.
"Kapan berangkatnya Pak?" aku bertanya.
"Pukul 16.00 WIB," jawabnya singkat. Jawaban itu terdengar bagai halilintar, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
"Pak, mohon diizinkan pulang dulu, untuk melihat istri yang baru melahirkan anak pertama delapan hari yang lalu," usulku kepada komandan peleton. Permohonan ini ditolak, tetapi ia memberikan kesempatan untuk mencoba mengajukan kepada komandan kompi, karena waktunya sangat mepet. Jam di tanganku menunjukkan angka 4 lewat 30 menit. Cepat-cepat aku berlari menjumpai Komandan Kompi Letda Atma. Sebab komandan kompi inilah yang akan memimpin terjun malam. Hasilnya sama saja, aku harus menghadap komandan batalyon yang sedang duduk di lapangan memerhatikan persiapan-persiapan yang akan dilakukan. Mayor M. Sanif, mengernyitkan dahinya, guna mempertimbangkan untuk dapat
diberi izin atau tidak. Aku menanti perintahnya dengan jantung berdebar.
"Sepuluh menit cukup?" tanyanya.
"Cukup. Satu menit pun cukup," jawabku singkat.
Waktu yang diberikan komandan batalyon cukup menggembirakan. Hatiku yang menggerutu sejak tadi kini menjadi lumer. Kapten Kamalirang, Komandan Kompi A, diperintahkan Dan Yon untuk mengemudikan kendaraan jip komandan batalyon untuk mengantarku ke rumah di Bandung Selatan. Kendaraan dilarikan dengan kecepatan tinggi.
Banyak mobil yang disalip. Hatiku berdebar, kalau terjadi tabrakan, tamatlah riwayat kami. Kehadiranku di tengah keluarga menimbulkan rasa haru yang mendalam, apalagi istriku, dia menangis. Keadaannya masih belum sehat benar, tetapi ia mencoba untuk membuatkan kopi, aku melarangnya. Selesai aku mencium bayi yang masih merah, aku meminta kepada istriku untuk mempersiapkan pakaianku yang kemudian dibungkus
dalam kertas koran. Tetanggaku berdatangan untuk sekadar mengetahui kejadian apa yang aku alami hingga aku menghilang begitu lama tanpa pamit dan memberi tahu.
Kedatangan tetangga ini dapat membendung tangis istriku dan dia menarik napas panjang sesudah menangis dan bertanya.
"Mau ke mana lagi, Kang?" tanya istriku curiga.
"Ke Jakarta," jawabku pendek.
"Berapa lama?" tanya istriku lagi.
"Sampai pulang," jawabku pendek.
Perlahan-lahan istriku terduduk. Kedua tangannya terjulur hendak memelukku. Ia pingsan mendengar jawabanku. Istriku terbaring di lantai beralaskan tikar. Waktu terus berjalan dan aku tidak mungkin menunggu istriku siuman, aku serahkan kepada tetangga untuk mengurusnya. Aku tinggalkan dia dan bayiku yang masih merah, bergegas menuju kendaraan.
Ketika mobil bergerak, Kapten Kamalirang melempar pandang ke wajahku dan mataku yang merah menahan tangis. Kapten Kamalirang tidak menanyakan apa pun padaku. Ia hanya menelan ludah untuk menahan senyum. Kendaraan dilarikan dengan kecepatan tinggi, karena waktu yang hampir habis. Setibanya di asrama batalyon, aku melapor kepada komandan dan langsung mengambil perlengkapan. Lalu naik kendaraan yang siap
berangkat, di mana teman-teman sudah menunggu.
Kendaraan yang kutumpangi bergerak perlahan-lahan meninggalkan asrama, diiringi lambaian tangan dari keluarga yang mengantar kepergian kami dan ada di antaranya yang menangis. Hanya keluarga yang berada di asrama yang melepas kami pergi. Kendaraan langsung menuju Lanud Husein Sastranegara. Di sana pesawat Hercules yang akan mengangkut kami ke Jakarta sudah menunggu dan semua barang berpindah dari truk ke
dalam perut pesawat.
lanjut Chap 3. Aku Akan Diterjunkan di Irian Barat.......