Dengan yakin adanya Kebenaran mutlak, berarti didunia ini ada makna yang benar2 mutlak kebenarannya disamping ada makna-makna semu. Untuk itulah manusia harus mencari. Untuk itulah manusia perlu petunjukNya (Hidayah).
Segala aspek hidup secara fisik yg diajarkan dalam islam yaitu untuk menuju aspek metafisik, dimana realitas kebenaran secara fisik yg bersifat nisbi akan mempengaruhi kebenaran metafisik yg bersifat kekal. Karena realitas kebenaran riil adalah Allah, sedangkan realitas kebenaran nisbi adalah semua mahluk. Hingga untuk mencapai realitas kebenaran riil (Allah) tersebut, mustahil dapat ditemukan, bila tidak menggunakan metode pencari kebenaran yg mutlak pula (wahyu).
Kebenaran mutlak adalah Allah, akherat, syurga dan neraka. Dimana kebenaran tersebut bersifat metafisik. Hmm..sesuatu yg tidak dapat dilihat, bukan berarti bahwa sesuatu itu tidak ada, namun keberadaan yg metafisik tersebut mempunyai pengaruh kuat dalam kehidupan manusia secara fisik dan tawhid merupakan kata kunci untuk mengetahui dan membedakan antara kebenaran realitas secara relative dan kebenaran realitas yg riil/ mutlak.
Sedangkan kebenaran realitas adalah semua bentuk kejadian dan perbuatan yg dilakukan dan terjadi dalam kehidupan yg nyata (fisik), namun bersifat sementara (nisbi) dan mempunyai penilaian relative yg positif dan negatif.
Kebenaran realitas bisa bersifat relative dan mutlak, karena tergantung cara pandang yg memahami kebenaran tersebut. Apabila kebenaran realitas dipandang sebatas penilaian secara fisik dan akal, maka hasil penilaian akan menjadi relative. Namun kebenaran realitas secara fisik yg disandarkan pada penilaian metafisik yaitu wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah), maka kebenaran secara fisik tersebut bisa mencapai kebenaran absolute.
Contoh : orang yg melakukan pengrusakan secara fisik, moral, dan agama merupakan kebenaran realita yg bisa dilihat secara nyata adanya. Begitupun orang yg melakukan perbaikan secara fisik, moral dan agama merupakan kebenaran realita yg bisa dilihat secara nyata. Namun kebenaran realita yg bersifat merusak merupakan satu kesalahan yg bisa dinilai secara akal, dimana kebenaran realita yg bersifat merusak dan menyalahi fitrah manusia dan mengganggu ekosistem mahluk lainnya, maka secara akal dapat diputuskan bahwa kebenaran realita tersebut adalah satu realita dari kesalahan.
Sedangkan kebenaran realita yg melakukan perbaikan secara fisik, moral dan 'agama', bisa dinilai secara akal, merupakan suatu kebenaran realita yg baik, karena bersifat memperbaiki dan tidak menentang fitrah manusia maupun menyalahi kehidupan mahluk lainnya. Maka secara akal, kebenaran realita yg bersifat memperbaiki tersebut dapat diputuskan sebagai satu 'kebenaran' yg bisa relative dan mutlak (mudah2an nda bingung..hehehe).
Bukannya Atheis juga telah menyatakan kebenaran yang mutlak baginya :
Saya masih belum ngerti kalimat "Hidup untuk Mati" (Udah 2 x postingan) :
Jika kita yakin akan keberadaan Tuhan, maka otomatis kita mempunyai arti dan tujuan hidup, dimana hidup akan dihargai dan membekali diri saat menghadapi kehidupan setelah kematian. Namun ketidakyakinan akan Tuhan, akan membuat pandangan hidup seseorang dan mempengaruhi aktivitas diri menjadi semaunya sendiri, tanpa arti dan arah tujuan hidup, karena menyakini diri yang telah mati, maka segala urusan akan selesai sebatas dunia, tanpa mempersiapkan diri untuk menghadapi dan mempertanggung jawabkan semua yg telah dilakukan selama di dunia.
Jika ternyata setelah kematian tidak ada kehidupan (kayak pemikiran orang atheis) siapa yang rugi dan siapa yang untung diantara orang yang beriman dan atheis?
Dan jika ternyata (sudah pasti) setelah kematian ada kehidupan (kayak pemikiran orang beriman) siapa yang rugi dan siapa yang untung diantara orang beriman dan atheis?